Kamis, 26 April 2012

Epistemology Arah Gerakan Organisasi Pemuda


Supendi
By: Supendi
Abstrak
Tulisan ini hanya mencoba mengelaborasi berbagai alur pemikiran dewasa ini, di berbagai media, Koran, televisi terlebih lagi di internet tentang organisasi. Tapi kita tidak mudah menemukan organisasi yang concern di rimba raya pemikiran itu. Untuk tidak hanyut dalam sebuah arus perubahan, Tulisan ini hanya sebagai refleksi untuk menjadi sekedar bunga rampai pemikiran dalam gegap gempitanya nuansa politis yang begitu hegemonik, ekonomi dan budaya yang paradoksal,
juga semakin kuatnya arus deras perubahan dunia. Mendinginkan suasana yang coba di artikulasikan dalam rangkaian kata. Orang bijak mengatakan, “satu kata seribu makna”, maka berbagai perspektif pemahaman pun dibebaskan total, untuk tidak menjadikan sebagai pembelaan diri sebagai yang paling benar.

Sebuah Pendahuluan
Tulisan ini sebenarnya hanya guratan sederhana, muncul dari keprihatinan penulis melihat fenomena alam yang semakin tidak bersahabat. Meski ada kesan filosofis ketika membaca judul dengan kata-kata epistemology, bukan bermaksud menghilangkan atau menyembunyikan maksud sebenarnya dari tulisan ini tapi memang ada kekuatan dalam kata ini untuk kembali menelaah periodisasi organisasi kepemudaan selama ini. Kita mungkin perlu mencoba menemukan hakikat arah gerakan organisasi yang dibangun oleh pemuda, sejak masa awal tumbuh kembangnya yang menurut catatan sejarah banyak sekali tumbuh subur berbagai organisasi dengan berbagai latar belakang dianggap sebagai fase awal lahirnya embrio gerakan organisai pemuda[1].. Namun jejak sejarah itu yang menjadi persoalan dasar tapi lebih pada semangat apa yang sebenarnya memicu tumbuh suburnya berbagai organisasi pemuda tersebut. Seperti munculnya berbagai organisasi kedaerahan jong java, jong sumatera dan beberapa organsasi yang ada nuansa psikologis yang menjadi perhatian utama, disamping itu juga besarnya aspek politis pada masanya menjadi konsekuensi logis dan sumber historis atas berbagai dinamika ungkapan gejolak jiwa para pemuda pada saat itu.
Selanjutnya epistemologis juga memberikan ruang pemisah meski agak samar, antara diskursus epistemologis, metafisika dan etik. Mengapa demikian ketika membahas nuansa filosofis maka persoalan akan kembali pada tiga dimensi di atas, Amin Abdullah juga menjelaskan ini dalam bukunya Islamic Studies di Perguan tinggi[2]. Untuk itu perlu juga merangkum sedikit peranan organisasi pemuda kedalam rumusan filosofis, untuk menjadikannya berisi alias tidak hilang nilai.
Dan perlunya memformulasi kembali arah gerak organisasi pemuda yang nobenenya, masih milik para orang tua. Pemuda yang lahir sebelum orang tua tentu tidak dapat meninggal bekas jejak yang telah mengakar kuat dalam aliran darah penerusnya, artinya jelas eksistensi organisasi pemuda itu tidak lepas dari campur tangan, campur kaki dari para pendahulunya. Harus diakui menjadikannya independen secara total justru akan mengaburkan arah gerakan. Untuk tidak lupa kembali pada pengakuan atas pembentukan karakter pemuda itu, maka perlua adanya penelaahan mana bagian yang harus dilepaskan dari konsekuensi hegemoni kaum tua dan mana yang harus dirunut, dan hal ini menjadi alasan untuk tidak mendistorsi arah gerakan dan tercerabut dari akar historisnya.
Quo Fadis Organisasi Kepemudaan.
Ini adalah pertanyaan yang paling sulit dijawab, baik secara logis mupun teoritis, namun apa salahnya mereka-reka, sebab secara  kodrati toh setiap bentukan komunitas akan mengikuti alurnya sendiri. Sebagai jawaban dari pernyataan ini perlu dirunut lagi peran sentral dari lahirnya jabang bayi organisasi, secara idiologis merupakan ruh penerus estafet perjuangan, yang demikian ini adalah nilai luhur yang coba dibangun diatas pondasi keberseamaan, dibawah payung sebuah ideology yang bernama Negara.
Dengan abstraksi di atas sebenarnya jelas kearah mana karakter organisasi ini dibawa, yaitu sebagai bagian dari perisai menghidupkan dinamika kelanggengan sebauh institusi bersar yang telah dibagun oleh sejarah. Kurang lebih 100 tahun yang lalu peran pemuda ikut menjadi penentu lahirnya sebuah kedaulatan yang sampai saat ini masih terus berbenah menemukan kesejatian diri, beberapa arah dapat menjadi pilihan utama layknya menu makanan yang ada di meja makan, selera diserahkan masing-masing tanpa paksaan, tapi satu catatan yang tidak boleh dilupakan yaitu sama-sama mengisi diri untuk menjadikan kekuatan penyokok tegak berdirinya sebauh republik.
Walau enggan menyebutkan secara eksplisit, namun ada nuansa lebih besar yang terkandung didalam kata-kata, arah laku kebijakan organisasi ini bisa diwarnai dengan beberapa nilai:
1.       Pendidikan.
Walaupun organisasi bukan menjadi sangkar utama dalam ikut serta membangun kader yang melek sekolahan, tapi butuh pencitraan bahwa organisasi itu menjadi warna-warni dari dari dinamika pendidikan yang ada dinegeri ini, dengan dilandaskan pada akar nilai pendidikan sudah pasti menjadikan organisasi ini peduli dengan proses yang lebih aplikatif di akar rumput. Artinya arah kebijakan terbangunnya organisasi ini juga tidak lepas dari proses pendidikan untuk membangun infrastruktur intelektual[3], terlapas pendidikan seperti apa yang akan diterima atau diberikan, membebaskan atau membelenggu[4].
2.       Ekonomi.
Organisasi juga dapa bermain peran, layaknya sandiwara. Keterikatan dengan berbagai elemen menjadi kunci dasar, jelas bahwa dalam pola kehidupan kita tidak bebas nilai. Prilaku konsumtif, merebaknya budaya POP adalah tantangan tersendiri[5], duni global yang menjadi kembang gulanya para pemilik modal adalah infestasi yang tak terbendung dalam melanggengkan peradaban ekonomi seca global, tinggal dimana organisasi pemuda mengambil peran di dalamnya.
3.       Sosial
Adalah senandung kidung indah yang tersirat dari bait-bait kehidupan. Kebersamaan adalah keterkaiitan antar individu menajadi satu ikatan manis saling ketergantungan. Pertanyaanya mampukan organisasi menajdikan kidung indah kebersamaan ini, dengan konsep yang ditawarkan, dan melawan konsumerisme massa menjadikan individualisme samar yang kini kian menjadi jelas. Padahal banyak sekali persoalan social yang untouchable (tak tersentuh) mengandalkan kesalehan pribadi yang terus di idolakan. Bahkan ini adalah harga mahal yang harus dibayar atas pendekatan cultural yang tidak ramah dalam pembinaan mental pemuda. Social change mungkin agenda yang rumit saat ini, pokok persoalanya mungkin seperti yang di ungkapkan Dr. Simuh yaitu tuntutan kontekstualisasi tanpa mengubah watak (indigenous character)[6]. Bagaiman itu bisa terjadi inilah tantangan kepemimpinan, dan sangat mustahil tercapai dengan pola sentralistik dan hirarkis pada satu actor.
4.       Politik
Partisipasi dalam gerakan kebangsaan, adalah kewajiban, Pradipa Yoedhanegara menyarankan agar partisipasi masyarakat bukan hanya sebatas mendorong belaka, atan tetapi sebagai bentuk respon atas situasi Negara yang tidak sehat.[7]dalam arti politisasi yang sudah ada dalam berbagai sector permerintahan, perdagangan, pendidikan dan berbagai perikehidupan komunal. Sebagai Negara yang menjadikan demokrasi sebagai acuan penyelenggaraan pemerintahan, seharusnya persoalan sejahtera bukan lagi perdebatan soal kapan dan dimana, tapi sudah pada topic apa lagi sejahtera yang di idamkan. Mungkin ini yang dinamakan tidak ada rumusan yang pasti dalam politik tentang yang namanya kesejahteraan bersama. Muncul kembali pertanyaan kalau organisasi pemuda hanya membentuk budaya politik yang tidak mengenal istilah mensejahterakan, lalu apa arti keberadaannya? Itulah arah mana yang seharusnya dilalui sebagai jawaban atas kuatnya politisasi dalam organisasi.
5.       Budaya
Sekiranya kita bertanya apakah yang akan terjadi setelah kita tinggalkan dunia organisasi “pemuda”? atau kita memang telah menjadi tua dan menjadi rongsokan yang tidak terpakai lagi. Mungkinkan organisasi mengalami kelembaman, atau membusuk, atau sebaliknya semakin geliat arogansi. Lanjut, buaday apa yang dapat dibangun, untuki menemukan harga diri sejati sebagai salah satu icon di dunia reality, atau mejadi bunga-bunga hiasan di dunia virtual[8]. 
Kalau memang alur pemikiran akan budaya yang menjadi acuan arah gerak organisasi, lalu apa yang akan ditinggalkan ddan dengan ukuran apa?, nilai independensi, nilai moral, kedisiplinan ala militer, gesekan pemikiran,  atau budaya 3b “bisu, bisa dan biasa” yang selama ini lebih dominan. Budaya yang selama ini hanya sebatas reingkarnasi dari leluhur yang selalu menjadi prasasti adiluhung untuk dipatuhi, akankan menjadi satu pengikat sejati untuk berani keluar dari tradisi. Maka butuh mental berbeda kearah mana positif value organisasi itu akan di bawa, hingga menjadi budaya yang bukan sekedar aransemen dari proses dialektik masa sebelumnya.
Sebagai Penutup
Tuliasan ini begitu ngelantur, nyaris tanpa reverensi. Atau butuh alat penghalus untuk memudahkan pencernaannya. Sebagai ekspresi kejenuhan yang teramat dalam atas berbagai persoalan bangsa, terkesan sok pemikir, namun hanya ada beberapa pilihan, memikirkan atau dipikirkan, menunggu atau ditunggu, menyelesaikan atau diselesaiakan semua sama-sama tidak enaknya. Namun mengambil setitik arti penting hibah otak dari Tuhan untuk berpikir, apa salahnya menuangkan alur pikiran yang liar ini dalam sebuah gurauan yang serius… semakin sulit rupanya untuk dicerna. Tapi sebagai generasi muda ada ketakutan yang teramat menghinggapi malam, siang bahkan mimpi. Seperti lagunya “ungu” andai ku tau… melihat ganasnya peta politik, tidak jelasnya arah pendidkan dan budaya yang multi tekstur saat ini ada kebingungan-kebingungan yang tidak dapat ditegaskan, salah satu yang dapat dilakukan adalah introspeksi. Itu mungkin jawaban yang paling logis dan paling mudah dinalar dalam membaca tulisan ini. Trimakasih
Referensi:
Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Itegratif-Interkonektif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010;

Astar Hadi, Matinya Dunia Cyberspace Kritik Humanis MARK SLOUKA Terhadap Jagat Maya, LKiS, Yogyakarta, 2005;

Ipung Purwanto, Huntington, Media, dan Hegemoni Budaya, Jurnal Aflakul Afkar, Jakarta, edisi I/tahunI/2002;

Matias Finger dan Jose Manuel Asun, Quo Vadis Pendidikan Orang Dewasa, Pustaka Kendi, Yogyakarta, 2004;

P. Swantoro, Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta, 2002;

Pradipa Yoedhanegara, Desentralisasi Gerakan Mahasiswa, DPP AWI, Jakarta, 2005;

Prof. Dr. Simuh, dkk, Islam Dan Hegemoni Sosial, Mediacita, Jakarta, 2002;

Siti Murtiningsi, Pendidikan Alat Perlawanan Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire, Reisst Book, Yogyakarta, 2004.




[1] Beberapa periodisasi sejarah yang literer dapat ditemukan dalam tulisan P. Swantoro dalam bukunya Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta, 2002. h. 290-306, 359-384, 385-392.
[2] Baca Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Itegratif-Interkonektif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, h. 12
[3] Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan adalah satu organisasi untuk membangun Infrastruktur Intelektual menurut UNESCO lihat bukunya Matias Finger dan Jose Manuel Asun, Quo Vadis Pendidikan Orang Dewasa, Pustaka Kendi, Yogyakarta, 2004. h. 17
[4] Walaupun pendidikan adalah usaha sadar dan terus menerus, baca dalam Siti Murtiningsi, Pendidikan Alat Perlawanan Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire, Reisst Book, Yogyakarta, 2004. h. 1
[5] Budaya konsumerisme ini adalah budaya yang mudah ditiru da menjadi teren kehidupan sehari-hari, dalam Ipung Purwanto, Huntington Media, dan Hegemoni Budaya, Jurnal Aflakul Afkar, Jakarta, edisi I/tahunI/2002. h. 21.
[6] Prof. Dr. Simuh, dkk, Islam Dan Hegemoni Sosial, Mediacita, Jakarta, 2002. h. 6
[7] Pradipa Yoedhanegara, Desentralisasi Gerakan Mahasiswa, DPP AWI, Jakarta, 2005. h. 74
[8] Fenomena ini sudah kita masuki yaitu dunia Hiperrealitas (hyperreality) atau sebuah Realitas Virtual (virtual reality), lebih jelas baca Astar Hadi, Matinya Dunia Cyberspace Kritik Humanis MARK SLOUKA Terhadap Jagat Maya, LKiS, Yogyakarta, 2005. H. 3

1 komentar:

  1. Why Baccarat Has More Benefits than Roulette
    A typical American 바카라 사이트 bettor will see a $1,200 메리트카지노총판 jackpot on the house line, with the winnings paid out on the 메리트 카지노 house line. That's not a low-margin bet. Instead,

    BalasHapus