Jumat, 10 Agustus 2012

WALI PERINTIS KEBUDAYAAN RUHANIAH ISLAM TANAH JAWA

Beliau adalah salah satu wali terkenal dari Wali Songo. Sunan Kalijaga amat dihormati terutama oleh masyarakat Jawa – dalam gambar-gambar Wali Songo hanya Sunan Kalijaga sajalah yang mengenakan busana tradisional Jawa: memakai blangkon dan sorjan, sedangkan wali-wali lainnya mengenakan busana keulamaan berbau Arab (sorban, gamis/jubah, dan sebagainya). Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai cendekiawan yang amat cerdas, budayawan, penyair
dan ahli silat. Beliaulah yang “mengislamkan” kisah Bharatayudha – misalnya dengan menambahkan tokoh punakawan Semar, Gareng Petruk dan Bagong; menciptakan wayang kulit; dan memodifikasi kisah-kisah wayang untuk mengajarkan tasawuf Islam seperti kisah Serat Dewa Ruci, Lakon Jimat Kalimasada, dan Petruk Dadi Ratu; menciptakan tembang-tembang; dan juga karya ukiran/pahatan. Sebagian meyakini bahwa Sunan Kalijaga adalah Wali Qutub.
Riwayat hidupnya diselimuti legenda dan karenanya ada beberapa versi. Yang diyakini umum, nama kecilnya adalah Raden Mas Sa’id (atau Syahid), atau juga dipanggil Jaka Sa’id. Tahun kelahirannya diperkirakan pada 1430-an. Raden Sa’id adalah putra dari Tumenggung Wilatikta, yang masih keturunan panglima majapahit terkenal Senopati Ranggalawe. Ibunda Raden Sa’id adalah Dewi Nawangrum. Ayahnya sudah beragama Islam, dan karenanya Raden Sa’id diperintahkan untuk memperdalam agama Islam di Tuban. Namun Raden Sa’id muda melihat kesenjangan dan ketidakadilan. Beliau melihat rakyat jelata miskin dan menderita, sedangkan kaum ningrat dan kaya hidup bermewah-mewah. Karenanya Raden Sa’id berontak dan menjadi berandalan yang kerap mencuri, merampok dan menjarah harta benda kaum bangsawan, untuk kemudian diserahkan kepada rakyat miskin. Tetapi tindakannya ini akhirnya diketahui sang ayah, dan beliaupun diusir. Beliau pergi dan menetap di daerah hutan Jatiwangi dan tetap menjadi berandalan dan perampok orang kaya. Beliau dijuluki Berandal Lokajaya, yang terkenal kesaktiannya.
Kisah peralihannya ke dunia sufi terjadi secara dramatis. Menurut cerita legenda, suatu ketika beliau mencegat seorang lelaki tua. Beliau tidak tahu bahwa orang tua tersebut adalah SUNAN BONANG, salah satu Wali Allah yang terkenal. Namun beliau kalah oleh kesaktian Sunan Bonang – ketika Raden Sa’id ingin merampas, Sunan Bonang menawarinya emas. Lalu dengan isyarat tangan beliau mengubah daun (dalam versi lain buah aren) menjadi emas murni. Akhirnya Raden Sa’id berguru kepadanya. Seusai berguru beliau pulang ke Tuban, namun ditolak oleh ayahnya. Akibatnya beliau kembali menemui Sunan Bonang. Oleh Sunan Bonang beliau disuruh untuk berkhalwat. Dalam cerita Babad Banten, Babad Tanah Jawi dan Babad Demak, dikisahkan bahwa Raden Sa’id disuruh menunggu kedatangan Sunan Bonang di tepi kali (sungai). Setelah tiga tahun lamanya beliau menunggu di pinggir kali, barulah Sunan Bonang datang. Karenanya beliau digelari Sunan Kalijaga.
Tetapi versi lain mengatakan bahwa nama Sunan Kalijaga berasal dari nama sebuah desa diCirebontempat beliau berdakwah, yang berada sekitar 2.5 kilometer arah selatanCirebon. Dalam versi ini Raden Sa’id konon datang ke Masjid Keraton Kasepuhan Cirebon, menyamar sebagai pembersih masjid. Di sinilah beliau bertemu dengan SUNAN GUNUNG JATI. Dalam pertemuan ini diceritakan Sunan Gunung Jati sengaja menguji Raden Sa’id dengan sebongkah emas, yang ditaruhnya di padasan (tempat wudhu). Tetapi Raden Sa’id mengubahnya menjadi batu bata, yang kemudian dijadikan tempat menaruh bakiak bagi orang yang berwudhu. Kelak Raden Sa’id dinikahkan dengan adik Sunan Gunung Jati yang bernama Siti Zaenab. Sunan Kalijaga menetap beberapa tahun di desa Kalijaga,Cirebon. Kemudian Sunan Kalijaga mengembara hingga ke Bintoro, Demak, dan ikut membantu perjuangan Raden Fatah, pendiri kerajaan Islam di Demak. Atas jasanya, Raden Fatah menganugerahkan tanah perdikan di Kadilangu kepada Sunan Kalijaga. Di sinilah Sunan Kalijaga menetap hingga akhir hayatnya. Berdasarkan cerita dan tradisi rakyat, Sunan Kalijaga hidup dalam empat era kekuasaan, yakni masa akhir Majapahit (sebelum 1478), Kesultanan Demak (1481-1546), Kesultanan Pajang (1546-1568) dan awal pemerintahan Mataram (1580-an). Dalam Babad Tanah Jawi bahkan dikisahkan Sunan Kalijaga yang sudah amat sepuh itu sempat berkunjung ke kediaman raja Mataram, Panembahan Senopati – dan karenanya ada dugaan beliau menjadi guru raja Mataram yang paling terkenal tersebut. Jika kisah ini benar maka diperkirakan usia Sunan Kalijaga mencapai 140-an tahun.
Selama di Demak, Sunan Kalijaga turut serta dalam membangun masjid agung Demak. Dalam cerita rakyat, ketika hendak memasang salah satu tiang utama, kayunya tidak cukup panjang. Karenanya Sunan Kalijaga lalu menggunakan tatal (serpihan kayu) untuk menyambung kayu itu menjadi tiang utama (saka) masjid. Karenanya tiang yang dibuat oleh Sunan Kalijaga ini dinamakan Saka Tatal. Bekas tatal ini masih disimpan di museum di sebelah utara bangunan masjid Demak. Juga konon Sunan Kalijaga mempertemukan puncak masjid Demak dengan Ka’bah setelah masjid itu berdiri. Berdasarkan penanggalan Jawa (candra sengkala), lawang trus gunaning janma, masjid ini berdiri tahun 1339 Caka (tahun Jawa) atau 1477 M.
Ajaran dan karamah
Selain sebagai wali yang sakti dan sastrawan, Sunan Kalijaga juga seorang ahli strategi kebudayaan yang piawai. Beliau mengajarkan Islam melalui jalur kebudayaan lokal dengan memanfaatkan kearifan lokal yang dipadukannya dengan ajaran Tasawuf. Karenanya beliau tidak segan-segan menggunakan unsur-unsur kebudayaan lama, seperti wayang, ukiran, batik, tembang, syair dan sebagainya, untuk menyampaikan dakwah Islam pada umumnya, dan ajaran sufi atau Tasawuf pada khususnya. Salah satu strateginya adalah menggunakan wayang. Sunan Kalijaga terkenal sebagai dalang yang hebat, dikenal dengan julukan Ki Dalang Sida Brangti. Beliau menggubah lakon-lakon wayang kulit. Sering beliau bersedia dipanggil mendalang untuk ikut memeriahkan suatu acara dengan syarat tuan rumah yang memanggil itu mau bersyahadat atau masuk Islam.
Secara filosofis, pertunjukan wayang purwa menganut pakem tertentu, terlepas dari “lakon” (fragmen kisah) yang dimainkan. Secara garis besar ada tiga bagian: jejer (ditandai dengan gunungan yang ditancapkan di tengah-tengah layar pada awal pementasan), kemudian gara-gara (bagian pertengahan) serta tancep kayon (bagian penutup). Jejeran umumnya adalah adegan sidang atau pasewakan di pusat pemerintahan, yang kemudian muncul tamu membawa masalah. Kemudian setelah beberapa waktu terjadi “perang kembang” – melambangkan asas kehidupan. Tidak semua kembang (bunga) akan menjadi buah, hanya yang lulus ujianlah yang akan berbuah. Setelah mengalami gara-gara, sebuah gejolak alam yang menunjukkan unsur api, angin, tanah dan angin dalam diri manusia, barulah inti cerita (babaring lelakon) akan dijabarkan. Selain itu, atas saran para wali lainnya, Kanjeng Sunan Kalijaga menambahkan empat tokoh punakawan, Semar, Petruk, Gareng dan Bagong. Empat tokoh mengandung makna filosofis mendalam, dan ada banyak tafsir atas makna simbolik dari keempat tokoh ini. Misalnya, dalam salah satu penafsiran, dikatakan Semar adalah dari kata Arab simaar, atau ismarun, yang berarti paku – melambangkan kemantapan dan keteguhan ibadah. Nala Gareng berasal dari kata nala qarin, yang berarti mendapatkan banyak kawan. Petruk dari kata fatruk, yang artinya meninggalkan yang jelak, atau nahi munkar. Sedangkan Bagong dari kata bagha, yang berarti pertimbangan makna dan rasa, membedakan baik dan buruk.
Lakon yang paling sering dipentaskannya adalah Jimat Kalimasada, sebuah keris pusaka yang menjadi perlambang kalimat syahadat. Dalam cerita ini, Prabu Puntadewa atau Syeh Jambu Karang, pemilik pusaka, sudah lanjut usia tetapi tidak bisa mati sebelum mampu mengurai isi jimat itu. Tak satupun brahmana yang mampu mengetahui makna tulisan di jimat itu. Akhirnya, ia bertemu dengan Sunan Kalijaga di tanah Jawa. Rahasia jimat itu dipaparkan oleh Sunan Kalijaga, yang maknanya adalah “Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.”
Kisah gubahan lain yang juga terkenal adalah Serat Dewa Ruci, kisah tentang Raden Bima yang mencari air kehidupan. Menurut beberapa tafsir, kisah ini didasarkan pada pengalaman Sunan Kalijaga sendiri saat berguru kepada Nabi Khidir di dalam air. Ini adalah kisah pengetahuan ma’rifat Allah tingkat tinggi, kisah yang berisi ajaran “penyatuan mistis” yang lazim dalam khasanah Tasawuf.  Dapat pula dikatakan bahwa kisah ini adalah kisah tentang cara menggapai ilmu “kesempurnaan hidup,” yakni dengan mengalahkan hawa nafsu yang ada di dalam diri seseorang, sebelum ia bisa mencapai hakikat dirinya.
Metode lain adalah melalui tembang atau kidung. Adadua kidung yang teramat populer di kalangan masyarakat Jawa, yang diyakini ciptaan Sunan Kalijaga, yakni kidung rumeksa ing wengi dan tembang ilir-ilir. Kidung rumeksa ing wengi ini bagi masyarakat Jawa adalah tembang sakral, mempunyai daya linuwih, atau faedah “kesaktian,” antara lain sebagai penolak bala, pembebas denda, penyembuh penyakit (bahkan penyakit gila), penghilang bencana, melancarkan jodoh, sebagai mantra untuk memenangkan perang, penolakhama tanaman, dan melancarkan pencapaian cita-cita yang baik.
Tembang Ilir-ilir diyakini mengandung ajaran tentang ketakwaan. Tembang ini banyak ditafsirkan secara berbeda-beda, namun semuanya mengandung inti yang sama, yakni pentingnya menjalankan ajaran Islam. Sebagai contoh, berikut ini adalah uraian salah satu tafsir tembang Ilir-ilir. Teks lengkap tembang ini adalah:
Lir-ilir, tandure wus sumilir/tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar/cah angon, cah angon penekno blimbing kuwi/lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro/dodotiro, dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir/dondomono jumlatono kanggo sebo mengko sore/mumpung padhang rembulane/mumpung jembar kalangane/ yo surako, surak hiyo!
Banyak kisah karamah Sunan Kalijaga. Selain kisah saka tatal tersebut di atas, beliau mempunyai kemampuan supranatural yang banyak. Sebagian murid-muridnya memeluk Islam setelah melihat atau merasakan karamah dari Sunan Kalijaga – misalnya SUNAN GESENG dan Ki Ageng Pandanaran atau dikenal pula sebagai SUNAN TEMBAYAT. Karamahnya antara lain beliau mampu mengubah benda – pasir menjadi beras dan sebaliknya, mengubah tanah menjadi emas, gamelan kenong menjadi batu; beliau juga punya  kemampuan menghidupkan orang mati. Menurut cerita, ketika Sunan Kalijaga bersilaturahmi ke kediaman adiknya yang bernama Dewi Roro Wulan, pada saat yang sama putra kesayangan Roro Wulan meninggal dunia. Namun saat kanjeng Sunan datang, Roro Wulan tak berani memberi tahu soal meninggalnya sang putra kepada Sunan Kalijaga. Kemudian Sunan Kalijaga memanggil anak yang sudah meninggal itu untuk diajak makan. Mendengar panggilan ini, mendadak anak itu bangun dan ikut makan. Saking senangnya, Roro Wulan kemudian memberi nama bumbu masakannya itu sebagai “bumbu urip-urip,” yang kelak dijadikan tradisi masyarakat Kadilangu, yakni caos dhahar, yang menjadi syarat untuk acara selametan.
Sunan Kalijaga juga meninggalkan beberapa pusaka dan benda-benda lainnya. Diantaranya adalah baju yang dinamakan Kotang Ontokokusumo dan keris Kyai Cubruk. Kedua pusaka ini secara rutin setiap tanggal 10 Dzulhijah dicuci, dalam acara yang dikenal sebagai penjamasan. Konon Sunan Kalijaga berpesan agar pusakanya itu dirawat (dijamas) dan tidak boleh dilihat karena bisa menyebabkan kebutaan. Menurut kisah, ketika Sunan Kalijaga berkunjung ke Sunan Lawu, beliau ditegur Sunan Lawu soal pusaka yang ditinggalkan di Kadilangu. Pada saat itu di Kadilangu ada sekelompok pasukan keraton yang memaksa juru kunci untuk menyerahkan pusaka tersebut. Setelah berhasil merebut pusaka itu, pasukan itu penasaran ingin mengetahui isinya. Begitu peti penyimpanan dibuka, bola mata mereka yang melihatnya langsung pecah. Karenanya, hingga saat ini penjamasan pusaka itu dilakukan dengan mata terpejam. Perlengkapan penjamasan adalah minyak jamas yang terbuat dari kelapa. Kelapa itu haruslah dari buah kelapa yang menggantung ke arah utara atau timur, dan pengambilannya tidak boleh dijatuhkan, tetapi dibawa turun, dengan jumlah ganjil.

Sumber : http://warkopmbahlalar.com/sunan-kalijogo-wali-perintis-kebudayaan-ruhaniah-islam-tanah-jawa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar