Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin Al-Khoirot
Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang
———–
Update: Banyak rekan-rekan dari Wahabi Salafi yang “ngomel” di kotak komentar mempertanyakan kenapa saya memakai rujukan tulisan dari buku orang Barat (baca: nonmuslim). Bagi saya, darimana
punsumbernya asal berdasar fakta layak diterima, kecuali kalau masalah
syariah. Namun untuk memuaskan mereka, silahkan membaca opini ulama Islam Sunni kontemporer dari berbagai negara tentang Wahabi Salafi di sini (dalam bahasa Indonesia), dan di sini dalam bahasa Arab (Google Docs).Ditulis untuk Buletin Al-Khoirot
Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang
———–
Update: Banyak rekan-rekan dari Wahabi Salafi yang “ngomel” di kotak komentar mempertanyakan kenapa saya memakai rujukan tulisan dari buku orang Barat (baca: nonmuslim). Bagi saya, darimana
Tulisan di bawah bukan bermaksud menyerang, tapi sebagai kritik agar
rekan-rekan Wahabi Salafi–yang sangat ringan mengeritik gerakan lain–
dapat lebih toleran dengan gerakan / organisasi dakwah di luar dirinya.
Toleransi (tidak mudah mengkafikan dan membid’ahkan) terhadap perbedaan
adalah kunci menghindari perpecahan. Dan kunci persatuan, kekuatan dan
kesolidan umat.
Islam itu cukup lapang dan luas untuk menampung seluruh gerakan
dakwah yang bermacam-macam. Mengharap gerakan lain harus “taat” dengan
manhaj Wahabi adalah mimpi utopis dan menyalahi fitrah manusia yang
diciptakan Allah untuk berbeda (QS Al-Hujurat 49:13).
———–
Dalam sebuah tulisan di harian Republika edisi 3 Oktober 2011, KH. Agil Siradj menulis sebuah artikel menarik berjudul Radikalisme, Hukum dan Dakwah. Dalam tulisan tersebut ketua PBNU ini mengingatkan bahaya laten dari gerakan Islam radikal di Indonesia. Ciri khas gerakan Islam ekstrim, masih menurut Agil Siradj, adalah “orang Islam yang berpikiran sempit, kaku dalam memahami Islam, serta bersifat eksklusif.”[1] Muslim radikal muncul sejak awal Islam. Yakni, sejak era para Sahabat. Saat itu, kelompok radikal dikenal dengan sebutan kaum khawarij.
Dalam sebuah tulisan di harian Republika edisi 3 Oktober 2011, KH. Agil Siradj menulis sebuah artikel menarik berjudul Radikalisme, Hukum dan Dakwah. Dalam tulisan tersebut ketua PBNU ini mengingatkan bahaya laten dari gerakan Islam radikal di Indonesia. Ciri khas gerakan Islam ekstrim, masih menurut Agil Siradj, adalah “orang Islam yang berpikiran sempit, kaku dalam memahami Islam, serta bersifat eksklusif.”[1] Muslim radikal muncul sejak awal Islam. Yakni, sejak era para Sahabat. Saat itu, kelompok radikal dikenal dengan sebutan kaum khawarij.
Adalah khalifah ke-3 Utsman bin Affan sendiri yang menjadi korban
pertama keganasan gerakan ekstrim ini. Beliau terbunuh pada tahun ke-35
hijriah. Peristiwa ini kemudian terulang pada masa Khalifah Ali ibn Abi
Thalib yang juga terbunuh oleh kalangan ekstrem dari umat Islam.
Komunitas ekstrem tersebut, sungguh pun pada mulanya bernuansa politik,
tetapi perkembangan selanjutnya dirajut dalam sebuah ideologi yang
dikenal dengan faham Khawarij.[2] Nama gerakan yang bernama Khawarij
saat ini sudah tidak ada. Akan tetapi gerakan Islam yang mirip dengan
gerakan Khawarij saat ini tidak saja eksis, tapi juga sedang
giat-giatnya mengampanyekan ideologinya melalui berbagai sarana yang
tersedia. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa Khawarij abad ke-21 ini
menjelma dalam gerakan yang dikenal dengan Wahabi Salafi.
Sejarah Wahabi dan Faktor Suksesnya Penyebaran Paham Wahabi
Gerakan Wahabi didirikan pada abad ke-18 oleh Muhammad bin Abdul
Wahhab (1703-1792) dari Najd, Arab Saudi. Ibnu Abdul Wahhab
mengampanyekan usaha memberantas praktik-praktik yang dilakukan umat
Islam yang dianggapnya bid’ah. Gerakan Wahabi atau Salafi berpusat di
Arab Saudi. Dan didanai oleh pemerintah Arab Saudi. Gerakan Wahabi
berkembang ke luar Arab Saudi karena dibawa oleh para sarjana lulusan
sejumlah perguruan tinggi di Arab Saudi atau universitas di luar Arab
Saudi yang mendapat bantuan finansial dan/atau tenaga pengajari dari
Arab Saudi seperti LIPIA (Lembaga Ilmu Pendidikan Islam dan Bahasa Arab)
yang merupakan cabang dari Universitas Muhammad Ibnu Su’ud yang berada
di Riyadh Arab Saud.
Seluruh biaya operasional peguruan tinggi negeri di Arab Saudi dan di
luar Arab Saudi yang berafiliasi ke universitas negara petrodolar ini
disubsidi 100% oleh negara. Dan 100% mahasiswanya mendapatkan beasiswa.
Oleh karena itu, tidak hersn kalau banyak pemuda Indonesia yang bermimpi
untuk dapat kuliah di salah satu perguruan tinggi di Arab Saudi. Selain
gratis, mendapat beasiswa penuh juga mendapat tiket pulang gratis
setiap tahun. Kalau tidak dapat kuliah di Arab Saudi, minimal dapat
belajar di LIPIA Jakarta yang juga memberikan beasiswa penuh. Bahkan
tidak jarang ada mahasiswa UIN Syahid yang juga kuliah di LIPIA hanya
untuk mendapatkan beasiswa.
Arab Saudi rela mendanai ribuan mahasiswa lokal dan internasional
secara cuma-cuma tentunya dengan tujuan khusus: dalam rangka menyebarkan
misi Wahabi Salafi ke seluruh dunia. Umumnya, sarjana lulusan
universitas Arab Saudi sudah terkena “cuci otak”. Indikasi paling mudah
adalah kecaman mereka terhadap tahlil, peringatan maulid Nabi, ziarah
qubur, dan semacamnya.
Bantuan finansial tidak hanya sampai di sini. Ketika para sarjana itu
pulang ke negara masing-masing, mereka masih akan tetap dapat kucuran
dana dari kerajaan melalui berbagai lembaga atau organisasi binaan
negara, seperti Rabithah Alam Islamy, WAMY (World Association of Muslim
Youth), dan lain-lain. Bantuan finansial diberikan khususnya pada para
alumnus atau non-alumni perguruan tinggi kerajaan Arab Saudi yang
mendirikan lembaga pendidikan seperti sekolah atau pesantren dan
membangun masjid.
Tentu, tidak ada salahnya menerima bantuan dari manapun. Apalagi
kalau dari sesama muslim. Namun, yang menjadi kekhawatiran banyak
kalangan adalah adanya pemaksaan—baik langsung atau tidak
langsung—terhadap lembaga yang mendapat bantuan untuk ikut menyebarkan
paham Wahabi. Ada beberapa kasus di mana kyai-kyai non-Wahabi yang ingin
mendapat bantuan dari kerajaan Arab Saudi terpaksa tidak melaksanakan
kebiasaan rutin ala pesantren seperti tahlil, atau qunut shalat Subuh
saat ada peninjauan dari utusan Arab Saudi yang hendak memberi bantuan.
Gencarnya aliran dana bantuan finansial untuk lembaga-lembaga
pendidikan dan masjid itu menjadi faktor utama mengapa gerakan paham
Wahabi Salafi berkembang cukup pesat di Indonesia. Dan itu juga menjadi
kunci jawaban mengapa kalangan aktivis Wahabi Salafi begitu bersemangat
untuk menyebarkan ideologi Salafi-nya ke mana-mana.
Mengapa Takut Wahabi Salafi?
Saat ada suatu gerakan Islam seperti Wahabi Salafi yang penuh
semangat dan mendapat bantuan finansial tak terbatas berkembang pesat,
mengapa umat Islam harus resah? Tidakkah itu patut disyukuri? Jawaban
singkatnya adalah radikalisme Wahabi Salafi sangat mengancam tidak saja
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), tapi juga kerukunan hidup
antar-umat Islam dan kerukunan hidup antar-umat beragama.[3]
Dalam perspektif keamanan, apabila gerakan Salafi menjadi dominan
dikhawatirkan terorisme akan semakin merajalela. Umat Islam yang masih
ingin melihat Indonesia aman dan tentram tentu tidak ingin melihat
negara ini seperti Pakistan yang pembunuhan antar golongan agama terjadi
hampir setiap hari. [4]
Ideologi takfîr (pengkafiran), tasyrîk (pemusyrikan), tabdî`
(pembid`ahan) dan tasykîk (upaya menanamkan keraguan) terhadap para
ulama dan muslim dari kalangan yang tidak sepaham merupakan langkah
pertama ketidakharmonisan umat. Anggapan golongan Wahabi Salafi bahwa
golongan Islam lain sebagai bid’ah dan kufr akan berujung pada
penghalalan darah (untuk dibunuh). Tak heran, sejak berdirinya gerakan
ini, tangan mereka banyak bersimbah darah saudaranya sesama muslim.[5]
Tentu mudah ditebak, apa yang akan terjadi pada penganut agama lain
apabila kelompok ini sampai mendominasi Indonesia kelak.[6]
Oleh karena itu, kalangan umat Islam ahlussunnah wal jamaah
pecinta damai hendaknya mewaspadai gerak gerik kelompok ini. Jangan
biarkan mereka menguasai masjid-masjid. Jangan biarkan mempercayakan
anak-anak kita untuk dididik di lembaga pendidikan yang mereka bina.
Jangan korbankan masa depan putra-putri kita pada ideologi yang tidak
mengenal kebenaran kecuali dalam dirinya sendiri. Jangan tergoda
mendapat beasiswa gratis dengan resiko cuci otak.[]
catatan kaki :
[1] Agil Siradj, “Radikalisme, Hukum dan Dakwah”, Republika, 3 Oktober 2011
[2] Ibid,.
[3] Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: from revival and reform to global jihad, 2007
[4] Khaled Ahmed, Sectarian War: Pakistan’s Sunni-Shia Violence and its links to the Middle East, Oxford University Press, USA, 2011
[5] Charles Allen, God’s Terrorists: The Wahhabi Cult and the Hidden Roots of Modern Jihad, Da Capo Press 2007.
[6] John Thayer Sidel, Riots, Pogroms, Jihad: Religious Violence in Indonesia, Cornell Univerity, 2006
[2] Ibid,.
[3] Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: from revival and reform to global jihad, 2007
[4] Khaled Ahmed, Sectarian War: Pakistan’s Sunni-Shia Violence and its links to the Middle East, Oxford University Press, USA, 2011
[5] Charles Allen, God’s Terrorists: The Wahhabi Cult and the Hidden Roots of Modern Jihad, Da Capo Press 2007.
[6] John Thayer Sidel, Riots, Pogroms, Jihad: Religious Violence in Indonesia, Cornell Univerity, 2006
Sumber : http://afatih.wordpress.com/2012/01/24/mewaspadai-gerakan-wahabi-salafi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar