Beliau adalah salah satu wali
terkenal dari Wali Songo. Sunan Kalijaga amat dihormati terutama oleh
masyarakat Jawa – dalam gambar-gambar Wali Songo hanya Sunan Kalijaga
sajalah yang mengenakan busana tradisional Jawa: memakai blangkon dan sorjan,
sedangkan wali-wali lainnya mengenakan busana keulamaan berbau Arab
(sorban, gamis/jubah, dan sebagainya). Sunan Kalijaga juga dikenal
sebagai cendekiawan yang amat cerdas, budayawan, penyair
dan ahli silat.
Beliaulah yang “mengislamkan” kisah Bharatayudha – misalnya dengan
menambahkan tokoh punakawan Semar, Gareng Petruk dan Bagong; menciptakan
wayang kulit; dan memodifikasi kisah-kisah wayang untuk mengajarkan
tasawuf Islam seperti kisah Serat Dewa Ruci, Lakon Jimat Kalimasada, dan Petruk Dadi Ratu; menciptakan tembang-tembang; dan juga karya ukiran/pahatan. Sebagian meyakini bahwa Sunan Kalijaga adalah Wali Qutub.
Riwayat
hidupnya diselimuti legenda dan karenanya ada beberapa versi. Yang
diyakini umum, nama kecilnya adalah Raden Mas Sa’id (atau Syahid), atau
juga dipanggil Jaka Sa’id. Tahun kelahirannya diperkirakan pada 1430-an.
Raden Sa’id adalah putra dari Tumenggung Wilatikta, yang masih
keturunan panglima majapahit terkenal Senopati Ranggalawe. Ibunda Raden
Sa’id adalah Dewi Nawangrum. Ayahnya sudah beragama Islam, dan karenanya
Raden Sa’id diperintahkan untuk memperdalam agama Islam di Tuban. Namun
Raden Sa’id muda melihat kesenjangan dan ketidakadilan. Beliau melihat
rakyat jelata miskin dan menderita, sedangkan kaum ningrat dan kaya
hidup bermewah-mewah. Karenanya Raden Sa’id berontak dan menjadi
berandalan yang kerap mencuri, merampok dan menjarah harta benda kaum
bangsawan, untuk kemudian diserahkan kepada rakyat miskin. Tetapi
tindakannya ini akhirnya diketahui sang ayah, dan beliaupun diusir.
Beliau pergi dan menetap di daerah hutan Jatiwangi dan tetap menjadi
berandalan dan perampok orang kaya. Beliau dijuluki Berandal Lokajaya,
yang terkenal kesaktiannya.
Kisah
peralihannya ke dunia sufi terjadi secara dramatis. Menurut cerita
legenda, suatu ketika beliau mencegat seorang lelaki tua. Beliau tidak
tahu bahwa orang tua tersebut adalah SUNAN BONANG, salah satu Wali Allah
yang terkenal. Namun beliau kalah oleh kesaktian Sunan Bonang – ketika
Raden Sa’id ingin merampas, Sunan Bonang menawarinya emas. Lalu dengan
isyarat tangan beliau mengubah daun (dalam versi lain buah aren) menjadi
emas murni. Akhirnya Raden Sa’id berguru kepadanya. Seusai berguru
beliau pulang ke Tuban, namun ditolak oleh ayahnya. Akibatnya beliau
kembali menemui Sunan Bonang. Oleh Sunan Bonang beliau disuruh untuk
berkhalwat. Dalam cerita Babad Banten, Babad Tanah Jawi dan Babad Demak,
dikisahkan bahwa Raden Sa’id disuruh menunggu kedatangan Sunan Bonang
di tepi kali (sungai). Setelah tiga tahun lamanya beliau menunggu di
pinggir kali, barulah Sunan Bonang datang. Karenanya beliau digelari
Sunan Kalijaga.
Tetapi
versi lain mengatakan bahwa nama Sunan Kalijaga berasal dari nama
sebuah desa diCirebontempat beliau berdakwah, yang berada sekitar 2.5
kilometer arah selatanCirebon. Dalam versi ini Raden Sa’id konon datang
ke Masjid Keraton Kasepuhan Cirebon, menyamar sebagai pembersih masjid.
Di sinilah beliau bertemu dengan SUNAN GUNUNG JATI. Dalam pertemuan ini
diceritakan Sunan Gunung Jati sengaja menguji Raden Sa’id dengan
sebongkah emas, yang ditaruhnya di padasan (tempat wudhu). Tetapi Raden
Sa’id mengubahnya menjadi batu bata, yang kemudian dijadikan tempat
menaruh bakiak bagi orang yang berwudhu. Kelak Raden Sa’id dinikahkan
dengan adik Sunan Gunung Jati yang bernama Siti Zaenab. Sunan Kalijaga
menetap beberapa tahun di desa Kalijaga,Cirebon. Kemudian Sunan Kalijaga
mengembara hingga ke Bintoro, Demak, dan ikut membantu perjuangan Raden
Fatah, pendiri kerajaan Islam di Demak. Atas jasanya, Raden Fatah
menganugerahkan tanah perdikan di Kadilangu kepada Sunan Kalijaga. Di
sinilah Sunan Kalijaga menetap hingga akhir hayatnya. Berdasarkan cerita
dan tradisi rakyat, Sunan Kalijaga hidup dalam empat era kekuasaan,
yakni masa akhir Majapahit (sebelum 1478), Kesultanan Demak (1481-1546),
Kesultanan Pajang (1546-1568) dan awal pemerintahan Mataram (1580-an).
Dalam Babad Tanah Jawi bahkan dikisahkan Sunan Kalijaga yang sudah amat
sepuh itu sempat berkunjung ke kediaman raja Mataram, Panembahan
Senopati – dan karenanya ada dugaan beliau menjadi guru raja Mataram
yang paling terkenal tersebut. Jika kisah ini benar maka diperkirakan
usia Sunan Kalijaga mencapai 140-an tahun.
Selama
di Demak, Sunan Kalijaga turut serta dalam membangun masjid agung
Demak. Dalam cerita rakyat, ketika hendak memasang salah satu tiang
utama, kayunya tidak cukup panjang. Karenanya Sunan Kalijaga lalu
menggunakan tatal (serpihan kayu) untuk menyambung kayu itu menjadi
tiang utama (saka) masjid. Karenanya tiang yang dibuat oleh Sunan
Kalijaga ini dinamakan Saka Tatal. Bekas tatal ini masih disimpan di
museum di sebelah utara bangunan masjid Demak. Juga konon Sunan Kalijaga
mempertemukan puncak masjid Demak dengan Ka’bah setelah masjid itu
berdiri. Berdasarkan penanggalan Jawa (candra sengkala), lawang trus gunaning janma, masjid ini berdiri tahun 1339 Caka (tahun Jawa) atau 1477 M.
Ajaran dan karamah
Selain
sebagai wali yang sakti dan sastrawan, Sunan Kalijaga juga seorang ahli
strategi kebudayaan yang piawai. Beliau mengajarkan Islam melalui jalur
kebudayaan lokal dengan memanfaatkan kearifan lokal yang dipadukannya
dengan ajaran Tasawuf. Karenanya beliau tidak segan-segan menggunakan
unsur-unsur kebudayaan lama, seperti wayang, ukiran, batik, tembang,
syair dan sebagainya, untuk menyampaikan dakwah Islam pada umumnya, dan
ajaran sufi atau Tasawuf pada khususnya. Salah satu strateginya adalah
menggunakan wayang. Sunan Kalijaga terkenal sebagai dalang yang hebat,
dikenal dengan julukan Ki Dalang Sida Brangti. Beliau menggubah
lakon-lakon wayang kulit. Sering beliau bersedia dipanggil mendalang
untuk ikut memeriahkan suatu acara dengan syarat tuan rumah yang
memanggil itu mau bersyahadat atau masuk Islam.
Secara
filosofis, pertunjukan wayang purwa menganut pakem tertentu, terlepas
dari “lakon” (fragmen kisah) yang dimainkan. Secara garis besar ada tiga
bagian: jejer (ditandai dengan gunungan yang ditancapkan di tengah-tengah layar pada awal pementasan), kemudian gara-gara (bagian pertengahan) serta tancep kayon (bagian penutup). Jejeran umumnya adalah adegan sidang atau pasewakan
di pusat pemerintahan, yang kemudian muncul tamu membawa masalah.
Kemudian setelah beberapa waktu terjadi “perang kembang” – melambangkan
asas kehidupan. Tidak semua kembang (bunga) akan menjadi buah, hanya
yang lulus ujianlah yang akan berbuah. Setelah mengalami gara-gara, sebuah gejolak alam yang menunjukkan unsur api, angin, tanah dan angin dalam diri manusia, barulah inti cerita (babaring lelakon)
akan dijabarkan. Selain itu, atas saran para wali lainnya, Kanjeng
Sunan Kalijaga menambahkan empat tokoh punakawan, Semar, Petruk, Gareng
dan Bagong. Empat tokoh mengandung makna filosofis mendalam, dan ada
banyak tafsir atas makna simbolik dari keempat tokoh ini. Misalnya,
dalam salah satu penafsiran, dikatakan Semar adalah dari kata Arab simaar, atau ismarun, yang berarti paku – melambangkan kemantapan dan keteguhan ibadah. Nala Gareng berasal dari kata nala qarin, yang berarti mendapatkan banyak kawan. Petruk dari kata fatruk, yang artinya meninggalkan yang jelak, atau nahi munkar. Sedangkan Bagong dari kata bagha, yang berarti pertimbangan makna dan rasa, membedakan baik dan buruk.
Lakon
yang paling sering dipentaskannya adalah Jimat Kalimasada, sebuah keris
pusaka yang menjadi perlambang kalimat syahadat. Dalam cerita ini,
Prabu Puntadewa atau Syeh Jambu Karang, pemilik pusaka, sudah lanjut
usia tetapi tidak bisa mati sebelum mampu mengurai isi jimat itu. Tak
satupun brahmana yang mampu mengetahui makna tulisan di jimat itu.
Akhirnya, ia bertemu dengan Sunan Kalijaga di tanah Jawa. Rahasia jimat
itu dipaparkan oleh Sunan Kalijaga, yang maknanya adalah “Aku bersaksi
tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.”
Kisah
gubahan lain yang juga terkenal adalah Serat Dewa Ruci, kisah tentang
Raden Bima yang mencari air kehidupan. Menurut beberapa tafsir, kisah
ini didasarkan pada pengalaman Sunan Kalijaga sendiri saat berguru
kepada Nabi Khidir di dalam air. Ini adalah kisah pengetahuan ma’rifat
Allah tingkat tinggi, kisah yang berisi ajaran “penyatuan mistis” yang
lazim dalam khasanah Tasawuf. Dapat pula dikatakan bahwa kisah ini
adalah kisah tentang cara menggapai ilmu “kesempurnaan hidup,” yakni
dengan mengalahkan hawa nafsu yang ada di dalam diri seseorang, sebelum
ia bisa mencapai hakikat dirinya.
Metode
lain adalah melalui tembang atau kidung. Adadua kidung yang teramat
populer di kalangan masyarakat Jawa, yang diyakini ciptaan Sunan
Kalijaga, yakni kidung rumeksa ing wengi dan tembang ilir-ilir.
Kidung rumeksa ing wengi ini bagi masyarakat Jawa adalah tembang
sakral, mempunyai daya linuwih, atau faedah “kesaktian,” antara lain
sebagai penolak bala, pembebas denda, penyembuh penyakit (bahkan
penyakit gila), penghilang bencana, melancarkan jodoh, sebagai mantra
untuk memenangkan perang, penolakhama tanaman, dan melancarkan
pencapaian cita-cita yang baik.
Tembang
Ilir-ilir diyakini mengandung ajaran tentang ketakwaan. Tembang ini
banyak ditafsirkan secara berbeda-beda, namun semuanya mengandung inti
yang sama, yakni pentingnya menjalankan ajaran Islam. Sebagai contoh,
berikut ini adalah uraian salah satu tafsir tembang Ilir-ilir. Teks
lengkap tembang ini adalah:
Lir-ilir,
tandure wus sumilir/tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar/cah
angon, cah angon penekno blimbing kuwi/lunyu-lunyu yo penekno kanggo
mbasuh dodotiro/dodotiro, dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir/dondomono
jumlatono kanggo sebo mengko sore/mumpung padhang rembulane/mumpung
jembar kalangane/ yo surako, surak hiyo!
Banyak
kisah karamah Sunan Kalijaga. Selain kisah saka tatal tersebut di atas,
beliau mempunyai kemampuan supranatural yang banyak. Sebagian
murid-muridnya memeluk Islam setelah melihat atau merasakan karamah dari
Sunan Kalijaga – misalnya SUNAN GESENG dan Ki Ageng Pandanaran atau
dikenal pula sebagai SUNAN TEMBAYAT. Karamahnya antara lain beliau mampu
mengubah benda – pasir menjadi beras dan sebaliknya, mengubah tanah
menjadi emas, gamelan kenong menjadi batu; beliau juga punya kemampuan
menghidupkan orang mati. Menurut cerita, ketika Sunan Kalijaga
bersilaturahmi ke kediaman adiknya yang bernama Dewi Roro Wulan, pada
saat yang sama putra kesayangan Roro Wulan meninggal dunia. Namun saat
kanjeng Sunan datang, Roro Wulan tak berani memberi tahu soal
meninggalnya sang putra kepada Sunan Kalijaga. Kemudian Sunan Kalijaga
memanggil anak yang sudah meninggal itu untuk diajak makan. Mendengar
panggilan ini, mendadak anak itu bangun dan ikut makan. Saking
senangnya, Roro Wulan kemudian memberi nama bumbu masakannya itu sebagai
“bumbu urip-urip,” yang kelak dijadikan tradisi masyarakat Kadilangu,
yakni caos dhahar, yang menjadi syarat untuk acara selametan.
Sunan Kalijaga juga meninggalkan beberapa pusaka dan benda-benda lainnya. Diantaranya adalah baju yang dinamakan Kotang Ontokokusumo dan keris Kyai Cubruk. Kedua pusaka ini secara rutin setiap tanggal 10 Dzulhijah dicuci, dalam acara yang dikenal sebagai penjamasan. Konon Sunan Kalijaga berpesan agar pusakanya itu dirawat (dijamas)
dan tidak boleh dilihat karena bisa menyebabkan kebutaan. Menurut
kisah, ketika Sunan Kalijaga berkunjung ke Sunan Lawu, beliau ditegur
Sunan Lawu soal pusaka yang ditinggalkan di Kadilangu. Pada saat itu di
Kadilangu ada sekelompok pasukan keraton yang memaksa juru kunci untuk
menyerahkan pusaka tersebut. Setelah berhasil merebut pusaka itu,
pasukan itu penasaran ingin mengetahui isinya. Begitu peti penyimpanan
dibuka, bola mata mereka yang melihatnya langsung pecah. Karenanya,
hingga saat ini penjamasan pusaka itu dilakukan dengan mata terpejam.
Perlengkapan penjamasan adalah minyak jamas yang terbuat dari kelapa.
Kelapa itu haruslah dari buah kelapa yang menggantung ke arah utara atau
timur, dan pengambilannya tidak boleh dijatuhkan, tetapi dibawa turun,
dengan jumlah ganjil.
Sumber : http://warkopmbahlalar.com/sunan-kalijogo-wali-perintis-kebudayaan-ruhaniah-islam-tanah-jawa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar