Supendi |
By: Supendi
Abstrak
Tulisan ini hanya
mencoba mengelaborasi berbagai alur pemikiran dewasa ini, di berbagai media,
Koran, televisi terlebih lagi di internet tentang organisasi. Tapi kita tidak
mudah menemukan organisasi yang concern di rimba raya pemikiran itu. Untuk
tidak hanyut dalam sebuah arus perubahan, Tulisan ini hanya sebagai refleksi
untuk menjadi sekedar bunga rampai pemikiran dalam gegap gempitanya nuansa
politis yang begitu hegemonik, ekonomi dan budaya yang paradoksal,
juga semakin
kuatnya arus deras perubahan dunia. Mendinginkan suasana yang coba di
artikulasikan dalam rangkaian kata. Orang bijak mengatakan, “satu kata seribu
makna”, maka berbagai perspektif pemahaman pun dibebaskan total, untuk tidak
menjadikan sebagai pembelaan diri sebagai yang paling benar.
Sebuah Pendahuluan
Tulisan ini sebenarnya hanya guratan sederhana, muncul dari
keprihatinan penulis melihat fenomena alam yang semakin tidak bersahabat. Meski
ada kesan filosofis ketika membaca judul dengan kata-kata epistemology, bukan
bermaksud menghilangkan atau menyembunyikan maksud sebenarnya dari tulisan ini
tapi memang ada kekuatan dalam kata ini untuk kembali menelaah periodisasi
organisasi kepemudaan selama ini. Kita mungkin perlu mencoba menemukan hakikat
arah gerakan organisasi yang dibangun oleh pemuda, sejak masa awal tumbuh
kembangnya yang menurut catatan sejarah banyak sekali tumbuh subur berbagai
organisasi dengan berbagai latar belakang dianggap sebagai fase awal lahirnya
embrio gerakan organisai pemuda[1]..
Namun jejak sejarah itu yang menjadi persoalan dasar tapi lebih pada semangat
apa yang sebenarnya memicu tumbuh suburnya berbagai organisasi pemuda tersebut.
Seperti munculnya berbagai organisasi kedaerahan jong java, jong sumatera dan
beberapa organsasi yang ada nuansa psikologis yang menjadi perhatian utama,
disamping itu juga besarnya aspek politis pada masanya menjadi konsekuensi logis
dan sumber historis atas berbagai dinamika ungkapan gejolak jiwa para pemuda
pada saat itu.
Selanjutnya epistemologis juga memberikan ruang pemisah
meski agak samar, antara diskursus epistemologis, metafisika dan etik. Mengapa
demikian ketika membahas nuansa filosofis maka persoalan akan kembali pada tiga
dimensi di atas, Amin Abdullah juga menjelaskan ini dalam bukunya Islamic
Studies di Perguan tinggi[2].
Untuk itu perlu juga merangkum sedikit peranan organisasi pemuda kedalam
rumusan filosofis, untuk menjadikannya berisi alias tidak hilang nilai.
Dan perlunya memformulasi kembali arah gerak organisasi
pemuda yang nobenenya, masih milik para orang tua. Pemuda yang lahir sebelum
orang tua tentu tidak dapat meninggal bekas jejak yang telah mengakar kuat
dalam aliran darah penerusnya, artinya jelas eksistensi organisasi pemuda itu
tidak lepas dari campur tangan, campur kaki dari para pendahulunya. Harus
diakui menjadikannya independen secara total justru akan mengaburkan arah
gerakan. Untuk tidak lupa kembali pada pengakuan atas pembentukan karakter
pemuda itu, maka perlua adanya penelaahan mana bagian yang harus dilepaskan
dari konsekuensi hegemoni kaum tua dan mana yang harus dirunut, dan hal ini
menjadi alasan untuk tidak mendistorsi arah gerakan dan tercerabut dari akar
historisnya.
Quo Fadis Organisasi Kepemudaan.
Ini adalah pertanyaan
yang paling sulit dijawab, baik secara logis mupun teoritis, namun apa salahnya
mereka-reka, sebab secara kodrati toh
setiap bentukan komunitas akan mengikuti alurnya sendiri. Sebagai jawaban dari
pernyataan ini perlu dirunut lagi peran sentral dari lahirnya jabang bayi
organisasi, secara idiologis merupakan ruh penerus estafet perjuangan, yang
demikian ini adalah nilai luhur yang coba dibangun diatas pondasi keberseamaan,
dibawah payung sebuah ideology yang bernama Negara.
Dengan abstraksi di
atas sebenarnya jelas kearah mana karakter organisasi ini dibawa, yaitu sebagai
bagian dari perisai menghidupkan dinamika kelanggengan sebauh institusi bersar
yang telah dibagun oleh sejarah. Kurang lebih 100 tahun yang lalu peran pemuda
ikut menjadi penentu lahirnya sebuah kedaulatan yang sampai saat ini masih
terus berbenah menemukan kesejatian diri, beberapa arah dapat menjadi pilihan
utama layknya menu makanan yang ada di meja makan, selera diserahkan
masing-masing tanpa paksaan, tapi satu catatan yang tidak boleh dilupakan yaitu
sama-sama mengisi diri untuk menjadikan kekuatan penyokok tegak berdirinya
sebauh republik.
Walau enggan
menyebutkan secara eksplisit, namun ada nuansa lebih besar yang terkandung
didalam kata-kata, arah laku kebijakan organisasi ini bisa diwarnai dengan
beberapa nilai:
1. Pendidikan.
Walaupun organisasi bukan
menjadi sangkar utama dalam ikut serta membangun kader yang melek sekolahan,
tapi butuh pencitraan bahwa organisasi itu menjadi warna-warni dari dari
dinamika pendidikan yang ada dinegeri ini, dengan dilandaskan pada akar nilai
pendidikan sudah pasti menjadikan organisasi ini peduli dengan proses yang
lebih aplikatif di akar rumput. Artinya arah kebijakan terbangunnya organisasi
ini juga tidak lepas dari proses pendidikan untuk membangun infrastruktur
intelektual[3],
terlapas pendidikan seperti apa yang akan diterima atau diberikan, membebaskan
atau membelenggu[4].
2. Ekonomi.
Organisasi juga dapa
bermain peran, layaknya sandiwara. Keterikatan dengan berbagai elemen menjadi
kunci dasar, jelas bahwa dalam pola kehidupan kita tidak bebas nilai. Prilaku
konsumtif, merebaknya budaya POP adalah tantangan tersendiri[5],
duni global yang menjadi kembang gulanya para pemilik modal adalah infestasi
yang tak terbendung dalam melanggengkan peradaban ekonomi seca global, tinggal
dimana organisasi pemuda mengambil peran di dalamnya.
3. Sosial
Adalah senandung kidung
indah yang tersirat dari bait-bait kehidupan. Kebersamaan adalah keterkaiitan
antar individu menajadi satu ikatan manis saling ketergantungan. Pertanyaanya
mampukan organisasi menajdikan kidung indah kebersamaan ini, dengan konsep yang
ditawarkan, dan melawan konsumerisme massa menjadikan individualisme samar yang
kini kian menjadi jelas. Padahal banyak sekali persoalan social yang untouchable (tak tersentuh) mengandalkan
kesalehan pribadi yang terus di idolakan. Bahkan ini adalah harga mahal yang
harus dibayar atas pendekatan cultural yang tidak ramah dalam pembinaan mental
pemuda. Social change mungkin agenda
yang rumit saat ini, pokok persoalanya mungkin seperti yang di ungkapkan Dr.
Simuh yaitu tuntutan kontekstualisasi tanpa mengubah watak (indigenous character)[6].
Bagaiman itu bisa terjadi inilah tantangan kepemimpinan, dan sangat mustahil
tercapai dengan pola sentralistik dan hirarkis pada satu actor.
4. Politik
Partisipasi dalam gerakan
kebangsaan, adalah kewajiban, Pradipa Yoedhanegara menyarankan agar partisipasi
masyarakat bukan hanya sebatas mendorong belaka, atan tetapi sebagai bentuk
respon atas situasi Negara yang tidak sehat.[7]dalam
arti politisasi yang sudah ada dalam berbagai sector permerintahan,
perdagangan, pendidikan dan berbagai perikehidupan komunal. Sebagai Negara yang
menjadikan demokrasi sebagai acuan penyelenggaraan pemerintahan, seharusnya
persoalan sejahtera bukan lagi perdebatan soal kapan dan dimana, tapi sudah
pada topic apa lagi sejahtera yang di idamkan. Mungkin ini yang dinamakan tidak
ada rumusan yang pasti dalam politik tentang yang namanya kesejahteraan
bersama. Muncul kembali pertanyaan kalau organisasi pemuda hanya membentuk
budaya politik yang tidak mengenal istilah mensejahterakan, lalu apa arti
keberadaannya? Itulah arah mana yang seharusnya dilalui sebagai jawaban atas
kuatnya politisasi dalam organisasi.
5. Budaya
Sekiranya kita bertanya
apakah yang akan terjadi setelah kita tinggalkan dunia organisasi “pemuda”?
atau kita memang telah menjadi tua dan menjadi rongsokan yang tidak terpakai
lagi. Mungkinkan organisasi mengalami kelembaman, atau membusuk, atau
sebaliknya semakin geliat arogansi. Lanjut, buaday apa yang dapat dibangun,
untuki menemukan harga diri sejati sebagai salah satu icon di dunia reality,
atau mejadi bunga-bunga hiasan di dunia virtual[8].
Kalau memang alur pemikiran
akan budaya yang menjadi acuan arah gerak organisasi, lalu apa yang akan
ditinggalkan ddan dengan ukuran apa?, nilai independensi, nilai moral,
kedisiplinan ala militer, gesekan pemikiran, atau budaya 3b “bisu, bisa dan biasa” yang
selama ini lebih dominan. Budaya yang selama ini hanya sebatas reingkarnasi
dari leluhur yang selalu menjadi prasasti adiluhung untuk dipatuhi, akankan
menjadi satu pengikat sejati untuk berani keluar dari tradisi. Maka butuh
mental berbeda kearah mana positif value
organisasi itu akan di bawa, hingga menjadi budaya yang bukan sekedar aransemen
dari proses dialektik masa sebelumnya.
Sebagai Penutup
Tuliasan
ini begitu ngelantur, nyaris tanpa reverensi. Atau butuh alat penghalus untuk
memudahkan pencernaannya. Sebagai ekspresi kejenuhan yang teramat dalam atas
berbagai persoalan bangsa, terkesan sok pemikir, namun hanya ada beberapa
pilihan, memikirkan atau dipikirkan, menunggu atau ditunggu, menyelesaikan atau
diselesaiakan semua sama-sama tidak enaknya. Namun mengambil setitik arti
penting hibah otak dari Tuhan untuk berpikir, apa salahnya menuangkan alur pikiran
yang liar ini dalam sebuah gurauan yang serius… semakin sulit rupanya untuk
dicerna. Tapi sebagai generasi muda ada ketakutan yang teramat menghinggapi
malam, siang bahkan mimpi. Seperti lagunya “ungu” andai ku tau… melihat
ganasnya peta politik, tidak jelasnya arah pendidkan dan budaya yang multi
tekstur saat ini ada kebingungan-kebingungan yang tidak dapat ditegaskan, salah
satu yang dapat dilakukan adalah introspeksi. Itu mungkin jawaban yang paling
logis dan paling mudah dinalar dalam membaca tulisan ini. Trimakasih
Referensi:
Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Itegratif-Interkonektif,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010;
Astar Hadi, Matinya Dunia
Cyberspace Kritik Humanis MARK SLOUKA Terhadap Jagat Maya, LKiS,
Yogyakarta, 2005;
Ipung Purwanto, Huntington,
Media, dan Hegemoni Budaya, Jurnal Aflakul
Afkar, Jakarta, edisi I/tahunI/2002;
Matias Finger dan Jose Manuel Asun, Quo Vadis Pendidikan Orang Dewasa,
Pustaka Kendi, Yogyakarta, 2004;
P. Swantoro, Dari Buku ke Buku Sambung
Menyambung Menjadi Satu, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta, 2002;
Pradipa Yoedhanegara, Desentralisasi
Gerakan Mahasiswa, DPP AWI, Jakarta, 2005;
Prof. Dr. Simuh, dkk, Islam Dan
Hegemoni Sosial, Mediacita, Jakarta, 2002;
Siti
Murtiningsi, Pendidikan Alat Perlawanan
Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire, Reisst Book, Yogyakarta, 2004.
[1]
Beberapa periodisasi sejarah yang literer dapat ditemukan dalam tulisan P.
Swantoro dalam bukunya Dari Buku ke Buku
Sambung Menyambung Menjadi Satu, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia),
Jakarta, 2002. h. 290-306, 359-384, 385-392.
[2]
Baca Amin Abdullah, Islamic Studies Di
Perguruan Tinggi Pendekatan Itegratif-Interkonektif, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2010, h. 12
[3]
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan adalah satu organisasi
untuk membangun Infrastruktur Intelektual menurut UNESCO lihat bukunya Matias
Finger dan Jose Manuel Asun, Quo Vadis
Pendidikan Orang Dewasa, Pustaka Kendi, Yogyakarta, 2004. h. 17
[4]
Walaupun pendidikan adalah usaha sadar dan terus menerus, baca dalam Siti
Murtiningsi, Pendidikan Alat Perlawanan
Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire, Reisst Book, Yogyakarta, 2004. h. 1
[5]
Budaya konsumerisme ini adalah budaya yang mudah ditiru da menjadi teren
kehidupan sehari-hari, dalam Ipung Purwanto, Huntington Media, dan Hegemoni Budaya, Jurnal Aflakul Afkar, Jakarta, edisi I/tahunI/2002. h. 21.
[6]
Prof. Dr. Simuh, dkk, Islam Dan Hegemoni
Sosial, Mediacita, Jakarta, 2002. h. 6
[7]
Pradipa Yoedhanegara, Desentralisasi
Gerakan Mahasiswa, DPP AWI, Jakarta, 2005. h. 74
[8]
Fenomena ini sudah kita masuki yaitu dunia Hiperrealitas (hyperreality) atau sebuah Realitas Virtual (virtual reality), lebih jelas baca Astar Hadi, Matinya Dunia Cyberspace Kritik Humanis MARK SLOUKA Terhadap Jagat
Maya, LKiS, Yogyakarta, 2005. H. 3
Why Baccarat Has More Benefits than Roulette
BalasHapusA typical American 바카라 사이트 bettor will see a $1,200 메리트카지노총판 jackpot on the house line, with the winnings paid out on the 메리트 카지노 house line. That's not a low-margin bet. Instead,