Ahmad Syarif Kurniawan |
SEJAK berdirinya, NU telah banyak mewarnai sendi-sendi perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara Republik Indonesia, dimulai sejak masa
sebelum kemerdekaan hingga masa Reformasi. Alhamdulillah, hingga hari ini NU masih eksis di persada nusantara bahkan luar negeri.
Tradisi keagamaan yang diperankan NU adalah yang berdasarkan
pemahaman ahlus sunnah wal jamaah (aswaja) atau dalam konteks ke-Indonesia-an sering disederhanakan dalam kata sunni.
Formulasi pemahaman yang dikembangkan NU menyangkut tiga bidang. Yaitu, pertama, akidah, mengikuti Abu Hasan Al Asy’arie dan Maturidi. Kedua, fikih, mengikuti salah satu Imam madzhab yang empat. Terakhir, tasawuf, mengikuti Junaidi Al Baghdadi dan Imam al Ghazali. Hal diyakini bahwa NU mengidealkan pada kerangka pemahaman yang komprehensif.
Pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an terjadi perubahan yang mengejutkan di dalam lingkungan NU. Perubahan yang paling sering disoroti media massa dan menjadi bahan kajian akademis adalah proses kembali ke khitah 1926 NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali menjadi jam’iyyah diniyyah, organisasi keagamaan, bukan lagi wadah politik.
Dengan kata lain, sejak Muktamar Situbondo (1984), para kiai bebas berafiliasi dengan partai politik mana pun dan menikmati enaknya kedekatan dengan pemerintah. NU tidak lagi dicurigai pemerintah, sehingga segala aktivitas seperti pertemuan dan seminar tidak lagi dilarang bahkan sering difasilitasi.
Perubahan tersebut walau merupakan momentum penting dalam sejarah politik Orde Baru, dapat dipahami sebagai sesuai dengan tradisi politik sunni yang selalu mencari akomodasi dengan penguasa, (Martin Van Bruinessen, 2004).
Dalam konteks global, NU menjadi duta bangsa memperkenalkan ke berbagai belahan dunia tentang ajaran Islam rahmatan lil ’alamin (rahmat sekalian seluruh alam). Benang merah dari Islam rahmatan lil ’alamin ini adalah untuk mewujudkan perdamaian, semua orang harus bersaudara. Dalam tradisi NU ada tiga model (trilogi) persaudaraan (ukuwwah). Pertama, ukuwwah islamiyyah, artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar keagamaan (Islam), baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional.
Kedua, ukuwwah wathaniyyah, artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kebangsaan. Ketiga, ukuwwah basyariyyah, artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kemanusiaan. Ketiga ukuwwah ini harus diwujudkan secara berimbang menurut porsinya masing-masing. Satu dengan lainnya tidak boleh dipertentangkan, sebab hanya melalui tiga dimensi ukuwwah inilah rahmatan lil ’alamin akan terealisasi.
Seyogyanya, dalam ber-NU kita mengingat kembali pesan-pesan moral al maghfurlah K.H. Ali Ma’shum Krapyak, Bantul, Jogjakarta, mantan Rois ’Aam PBNU (Pusat) 1981-1984, keterikatan warga nahdliyyin terhadap jam’iyyah (organisasi) NU terletak paling tidak pada lima aspek, (K.H. Ali Ma’shum, 1993).
Yaitu, pertama, ats-tsiqatu bi nahdlatil ulama’. Maksudnya setiap warga harus mempercayai terhadap NU sebagai satu-satunya tuntunan hidup yang benar. Sebagai satu keyakinan yang timbul dari sikap batin tentulah ia menuntut adanya realisasi yang bersifat lahir.
Jadi bukan sekadar percaya, sebab percaya saja belum memastikan adanya realisasi secara lahir. Setelah menyadari dan meyakini selanjutnya perlu bertanya pada diri kita masing-masing, sudahkah sikap lahiriah kita sesuai dengan ajaran NU? Sudahkah tingkah laku kita selaras dengan bimbingan NU? Sudahkah pengabdian kita terhadap pemerintah sejalan dengan rumusan NU? Dan seterusnya.
Kedua, al ma’rifat wal istiqan bi NU. Maksudnya bahwa setiap orang warga harus mengerti tentang NU dengan sungguh-sungguh. Faktor ini penting terutama dalam proses pembentukan keyakinan terhadap NU. Sebab keyakinan yang hanya bersifat alamiah (bukan sekadar ilmu), akan mudah digoyahkan dan hilang dimakan zaman.
Ketiga, al amalu bi ta’mili NU. Setiap warga harus mempraktekkan (berbuat) sesuai dengan ajaran dan tuntunan NU. Tuntunan NU adalah tuntunan Islam yang murni karena bersumber dari Alquran dan hadis.
Dalam ber-madzhab peranan akal diberi kesempatan seluas-luasnya dengan diimbangi bimbingan yang tertib dan sempurna. Di sini praktis harus diawali dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang nampaknya ringan.
Keempat, al-jihadu fi sabili NU. Maksudnya memperjuangkan NU agar tetap lestari dan berkembang pesat. Dalam organisasi NU hanya dikenal adanya pengabdian dan perjuangan. NU tidak mengenal apa itu sukses atau gagal. Kalau kita tenggelam dalam NU, harus berjuang pantang mundur dengan menelusuri benang-benang NU di bawah restu ulama, sebagaimana dijelaskan dalam Alquran surat At Taubah ayat 105.
Kelima, ash shabru fi sabili NU. Artinya sabar dalam ber-NU, baik sabar melakukan tugas, dalam menghadapi rintangan, kegagalan atau sabar ketika berhadapan dengan rayuan-rayuan manusia non-NU dan pihak-pihak yang memusuhi ajaran nabi. (*)
Oleh : Oleh Akhmad Syarief Kurniawan (Ketua PAC GP ANSOR Kota Gajah)
Sumber : http://www.radarlampung.co.id/read/opini/47847-pesan-kiai-ali-mashum-kepada-nu-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar