KH. Abdul Wahid Hasyim |
KH. Abdul Wahid Hasyim
adalah putra kelima dari pasangan KH. Hasyim Asy’ari dengan Nyai Nafiqah
binti Kyai Ilyas. Anak lelaki pertama dari 10 bersaudara ini lahir pada
hari Jumat legi, Rabiul Awwal 1333 H, bertepatan dengan 1 Juni 1914 M,
ketika di rumahnya sedang ramai dengan pengajian.
Wahid Hasyim adalah salah seorang dari
sepuluh keturunan langsung KH. Hasyim Asy’ari. Silsilah dari jalur ayah
ini bersambung hingga Joko Tingkir,
tokoh yang kemudian lebih dikenal
dengan Sultan Sutawijaya yang berasal dari kerajaan Demak. Sedangkan
dari pihak ibu, silsilah itu betemu pada satu titik, yaitu Sultan
Brawijaya V, yang menjadi salah satu raja Kerajaan MAtaram. Sultan
Brawijaya V ini juga dikenal dengan sebutan Lembu Peteng.
Kesepuluh putra KH. Hasyim Asy’ari itu
adalah Hannah, Khairiyah, Aisyah, Izzah, Abdul Wahid, A. Khaliq, Abdul
Karim, Ubaidillah, Masrurah, dan Muhammad Yusuf. Sementara itu, dengan
Nyai Masrurah KH. Hasyim Asy’ari dikaruniai empat putera, yakni Abdul
Kadir, Fatimah, Khodijah dan Ya’kub.
Mondok Hanya Beberapa Hari
Abdul Wahid mempunyai otak sangat cerdas.
Pada usia kanak-kanak ia sudah pandai membaca al-Qur’an, dan bahkan
sudah khatam al-Qur’an ketika masih berusia tujuh tahun. Selain mendapat
bimbingan langsung dari ayahnya, Abdul Wahid juga belajar di bangku
Madrasah Salafiyah di Pesantren Tebuireng. Pada usia 12 tahun, setamat
dari Madrasah, ia sudah membantu ayahnya mengajar adik-adik dan
anak-anak seusianya.
Sebagai anak tokoh, Abdul Wahid tidak
pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah Pemerintah Hindia Belanda.
Ia lebih banyak belajar secara otodidak. Selain belajar di Madrasah, ia
juga banyak mempelajari sendiri kitab-kitab dan buku berbahasa Arab.
Abdul Wahid mendalami syair-syair berbahasa Arab dan hafal di luar
kepala, selain menguasai maknanya dengan baik.
Pada usia 13 tahun ia dikirim ke Pondok
Siwalan, Panji, sebuah pesantren tua di Sidoarjo. Ternyata di sana ia
hanya bertahan sebulan. Dari Siwalan ia pindah ke Pondok Pesantren
Lirboyo, Kediri. Lagi-lagi ia di pesantren ini mondok dalam waktu yang
sangat singkat, hanya beberapa hari saja. Dengan berpindah-pindah pondok
dan nyantri hanya dalam hitungan hari itu, seolah-olah yang diperlukan
Abdul Wahid hanyalah keberkatan dari sang guru, bukan ilmunya. Soal
ilmu, demikian mungkin ia berpikir, bisa dipelajari di mana saja dan
dengan cara apa saja. Tapi soal memperoleh berkah, adalah masalah lain,
harus berhubungan dengan kyai. Inilah yang sepertinya menjadi
pertimbangan utama dari Abdul Wahid ketika itu.
Sepulang dari Lirboyo, Abdul Wahid tidak
meneruskan belajarnya di pesantren lain, tetapi memilih tinggal di
rumah. Oleh ayahnya pilihan tinggal di rumah dibiarkan saja, toh Abdul
Wahid bisa menentukan sendiri bagaimana harus belajar. Benar juga,
selama berada di rumah semangat belajarnya tidak pernah padam, terutama
belajar secara otodidak. Meskipun tidak sekolah di lembaga pendidikan
umum milik pemerintah Hindia Belanda, pada usia 15 tahun ia sudah
mengenal huruf latin dan menguasai bahasa Inggris dan Belanda. Kedua
bahasa asing itu dipelajari dengan membaca majalah yang diperoleh dari
dalam negeri atau kiriman dari luar negeri.
Menerapkan Sistem Madrasah ke Dalam Sistem Pesantren
Pada 1916, KH. Ma’sum, menantu KH. Hasyim
Asy’ari, dengan dukungan Wahid Hasyim, memasukkan sistem Madrasah ke
dalam sistem pendidikan pesantren. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi
menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awwal
dan siffir tsani, yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun
jenjang berikutnya. Pada siffir awwal dan siffir tsani diajarkan khusus
bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan
Islam. Pada tahun 1919, kurikulum madrasah tersebut ditambah dengan
pendidikan umum, seperti bahasa Indonesia (Melayu), berhitung dan Ilmu
Bumi. Pada 1926, KH. Mauhammad Ilyas memasukkan pelajaran bahasa Belanda
dan sejarah ke dalam kurikulum madrasah atas persetujuan KH. Hasyim
Asy’ari.
Pembaharuan pendidikan Pesantren
Tebuireng yang dilakukan KH. Hasyim Asy’ari, berikut murid dan
puteranya, bukan tanpa halangan. Pembaharuan pendidikan yang digagasnya
menimbulkan reaksi yang cukup hebat dari masyarakat dan kalangan
pesantren, sehingga banyak juga orang tua santri memindahkan
anak-anaknya ke pesantren lain, karena dengan pembaharuan tersebut
Pesantren Tebuireng dipandang sudah terlalu modern. Reaksi tersebut
tidak menyurutkan proses pembaharuan Pesantren Tebuireng. Hal tersebut
terus berlangsung dan dilanjutkan oleh Wahid Hasyim dengan mendirikan
madrasah modern di lingkungan pesantren.
Berangkat ke Mekkah
Pada tahun 1932, ketika menginjak usia 18
tahun, ia dikirim ke Mekkah, di samping untuk menunaikan rukun Islam
kelima juga untuk memperdalam berbagai cabang ilmu agama. Kepergiannya
ke Mekkah ditemani oleh saudara sepupunya, Muhammad Ilyas, yang kelak
menjadi Menteri Agama. Muhammad Ilyas memiliki jasa yang besar dalam
membimbing Abdul Wahid sehingga tumbuh menjadi remaja yang cerdas.
Muhammad Ilyas dikenal fasih dalam bahasa Arab, dan dialah yang
mengajari Abdul Wahid bahasa Arab. Di tanah suci ia belajar selama dua
tahun.
Dengan pengalaman pendidikan tersebut,
tampak ia sebagai sosok yang memiliki bakat intelektual yang matang. Ia
menguasai tiga bahasa asing, yaitu bahasa Arab, Inggris dan Belanda.
Dengan bekal kemampuan tiga bahasa tersebut, Wahid Hasyim dapat
mempelajari berbagai buku dari tiga bahasa tersebut. Otodidak yang
dilakukan Wahid Hasyim memberikan pengaruh signifikan bagi praktik dan
kiprahnya dalam pendidikan dan pengajaran, khususnya di pondok pesantren
termasuk juga dalam politik.
Setelah kembali dari Mekkah, Wahid Hasyim
merasa perlu mengamalkan ilmunya dengan melakukan pembaharuan, baik di
bidang sosial, keagamaan, pendidikan dan politik. Pada usia 24 tahun
(1938), Wahid Hasyim mulai terjun ke dunia politik. Bersama
kawan-kawannya, ia gencar dalam memberikan pendidikan politik,
pembaharuan pemikiran dan pengarahan tentang perlunya melawan penjajah.
Baginya pembaharuan hanya mungkin efektif apabila bangsa Indonesia
terbebas dari penjajah.
Menikah
Pada usia 25 tahun, Abdul Wahid
mempersunting gadis bernama Solichah, putri KH. Bisri Syansuri, yang
pada waktu itu baru berusia 15 tahun. Pasangan ini dikarunai enam anak
putra, yaitu Abdurrahman ad-Dakhil (mantan Presiden RI), Aisyah (Ketua
Umum PP Muslimat NU, 1995-2000), Shalahudin al-Ayyubi (Insinyur lulusan
ITB/Pengasuh PP. Tebuireng Jombang, sesudah KH. Yusuf Hasyim), Umar
(dokter lulusan UI), Khadijah dan Hasyim.
Empat Tahun Sebelum Masuk Organisasi
Jangan ada orang yang memasuki suatu
organisasi atau perhimpunan atas dasar kesadaran kritisnya. Pada umumnya
orang yang aktif dalam sebuah organisasi atas dasar tradisi mengikuti
jejak kakek, ayah, atau keluarga lain, karena ikut-ikutan atau karena
semangat primordial. Tidak terkecuali bagi kebanyakan warga NU. Sudah
lazim orang masuk NU karena keturunan; ayahnya aktif di NU, maka secara
otomatis pula anaknya masuk dan menjadi aktivis NU. Kelaziman seperti
itu agaknya tidak berlaku bagi Wahid Hasyim. Proses ke-NU-an Abdul Wahid
Hasyim berlangsung dalam waktu yang cukup lama, setelah melakukan
perenungan mendalam. Ia menggunakan kesadaran kritis untuk menentukan
pilihan organisasi mana yang akan dimasuki.
Waktu itu April 1934, sepulang dari
Mekkah, banyak permintaan dari kawan-kawannya agar Abdul Wahid Hasyim
aktif dihimpunan atau organisasi yang dipimpinnya. Tawaran juga datang
dari Nahdlatul Ulama (NU). Pada tahun-tahun itu di tanah air banyak
berkembang perkumpulan atau organisasi pergerakan. Baik yang bercorak
keagamaan maupun nasionalis. Setiap perkumpulan berusaha memperkuat
basis organisasinya dengan merekrut sebanyak mungkin anggota dari
tokoh-tokoh berpengaruh. Wajar saja jika kedatangan Wahid Hasyim ke
tanah air disambut penuh antusias para pemimpin perhimpunan dan diajak
bergabung dalam perhimpunannya. Ternyata tidak satupun tawaran itu yang
diterima, termasuk tawaran dari NU.
Apa yang terjadi dalam pergulatan
pemikiran Abdul Wahid Hasyim, sehingga ia tidak kenal secara cepat
menentukan pilihan untuk bergabung di dalam satu perkumpulan itu? Waktu
itu memang ada dua alternatif di benak Abdul Wahid Hasyim. Kemungkinan
pertama, ia menerima tawaran dan masuk dalam salah satu perkumpulan atau
partai yang ada. Dan kemungkinan kedua, mendirikan perhimpunan atau
partai sendiri.
Di mata Abdul Wahid Hasyim perhimpunan
atau partai yang berkembang waktu itu tidak ada yang memuaskan. Itulah
yang menyebabkan ia ragu kalau harus masuk dan aktif di partai. Ada saja
kekurangan yang melekat pada setiap perhimpunan. Menurut penilaian
Abdul Wahid Hasyim, partai A kurang radikal, partai B kurang
berpengaruh, partai C kurang memiliki kaum terpelajar, dan partai D
pimpinannya dinilai tidak jujur.
”di mata saya, ada seribu satu macam
kekurangan yang ada pada setiap partai,” tegas Abdul Wahid Hasyim ketika
berceramah di depan pemuda yang bergabung dalam organisasi Gerakan
Pendidikan Politik Muslim Indonesia.
Setelah beberapa lama melakukan
pergulatan pemikiran Wahid Hasyim akhirnya menjatuhkan pilihannya ke NU.
Meskipun belum sesuai dengan keinginannya, tapi dianggap NU memiliki
kelebihan dibanding yang lain. Selama ini organisasi-organisasi dalam
waktu yang pendek tidak mampu untuk menyebar keseluruh daerah. Berbeda
dengan NU dalam waktu yang cukup singkat sudah menyebar hingga 60% di
seluruh wilayah di Indonesia. Inilah yang dianggap oleh Wahid Hasyim
kelebihan yang dimiliki oleh NU.
Pokok Pemikirannya
Sebagai seorang santri pendidik agama,
fokus utama pemikiran Wahid Hasyim adalah peningkatan kualitas
sumberdaya umat Islam. Upaya peningkatan kualitas tersebut menurut Wahid
Hasyim, dilakukan melalui pendidikan khususnya pesantren. Dari sini
dapat dipahami, bahwa kualitas manusia muslim sangat ditentukan oleh
tinggi rendahnya kualitas jasmani, rohani dan akal. Kesehatan jasmani
dibuktikan dengan tiadanya gangguan fisik ketika berkatifitas. Sedangkan
kesehatan rohani dibuktikan dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah
yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Disamping sehat
jasmani dan rohani, manusia muslim harus memiliki kualitas nalar (akal)
yang senantiasa diasah sedemikian rupa sehingga mampu memberikan solusi
yang tepat, adil dan sesuai dengan ajaran Islam.
Mendudukkan para santri dalam posisi yang
sejajar, atau bahkan bila mungkin lebih tinggi, dengan kelompok lain
agaknya menjadi obsesi yang tumbuh sejak usia muda. Ia tidak ingin
melihat santri berkedudukan rendah dalam pergaulan masyarakat. Karena
itu, sepulangnya dari menimba ilmu pengetahuan, dia berkiprah secara
langsung membina pondok pesantren asuhannya ayahnya.
Pertama-tama ia mencoba menerapkan model
pendidikan klasikal dengan memadukan unsur ilmu agama dan ilmu-ilmu umum
di pesantrennya. Ternyata uji coba tersebut dinilai berhasil. Karena
itu ia kenal sebagai perintis pendidikan klasikal dan pendidikan modern
di dunia pesantren.
Untuk pendidikan pondok pesantren Wahid
Hasyim memberikan sumbangsih pemikirannya untuk melakukan perubahan.
Banyak perubahan di dunia pesantren yang harus dilakukan. Mulai dari
tujuan hingga metode pengajarannya.
Dalam mengadakan perubahan terhadap
sistem pendidikan pesantren, ia membuat perencanaan yang matang. Ia
tidak ingin gerakan ini gagal di tengah jalan. Untuk itu, ia mengadakan
langkah-langkah sebagai berikut :
* Menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya
* Menggambarkan cara mencapai tujuan itu
* Memberikan keyakinan dan cara, bahwa dengan sungguh-sungguh tujuan dapat dicapai.
* Menggambarkan cara mencapai tujuan itu
* Memberikan keyakinan dan cara, bahwa dengan sungguh-sungguh tujuan dapat dicapai.
Pada awalnya, tujuan pendidikan Islam
khususnya di lingkungan pesantren lebih berkosentrasi pada urusan
ukhrawiyah (akhirat), nyaris terlepas dari urusan duniawiyah (dunia).
Dengan seperti itu, pesantren didominasi oleh mata ajaran yang berkaitan
dengan fiqh, tasawuf, ritual-ritual sakral dan sebagainya.
Meski tidak pernah mengenyam pedidikan
modern, wawasan berfikir Wahid Hasyim dikenal cukup luas. Wawasan ini
kemudian diaplikasikan dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan
pendidikan. Berkembangnya pendidikan madrasah di Indonesia di awal abad
ke-20, merupakan wujud dari upaya yang dilakukan oleh cendikiawan
muslim, termasuk Wahid Hasyim, yang melihat bahwa lembaga pendidikan
Islam (pesantren) dalam beberapa hal tidak lagi sesuai dengan tuntutan
dan perkembangan zaman.
Apa yang dilakukan oleh Wahid Hasyim
adalah merupakan inovasi baru bagi kalangan pesantren. Pada saat itu,
pelajaran umum masih dianggap tabu bagi kalangan pesantren karena
identik dengan penjajah. Kebencian pesantren terhadap penjajah membuat
pesantren mengharamkan semua yang berkaitan dengannya, seperti halnya
memakai pantolan, dasi dan topi, dan dalam konteks luas pengetahuan
umum.
Dalam metode pengajaran, sekembalinya
dari Mekkah untuk belajar, Wahid Hasyim mengusulkan perubahan metode
pengajaran kepada ayahnya. Usulan itu antara lain agar sistem bandongan
diganti dengan sistem tutorial yang sistematis, dengan tujuan untuk
mengembangkan dalam kelas yang menggunakan metode tersebut santri datang
hanya mendengar, menulis catatan, dan menghafal mata pelajaran yang
telah diberikan, tidak ada kesempatan untuk mengajukan pertanyaan atau
berdikusi. Secara singkat, menurut Wahid Hasyim, metode bandongan akan
menciptakan kepastian dalam diri santri.
Perubahan metode pengajaran diimbangi
pula dengan mendirikan perpustakaan. Hal ini merupakan kemajuan luar
biasa yang terjadi pada pesantren ketika itu. Dengan hal tersebut Wahid
Hasyim mengharapkan terjadinya proses belajar mengajar yang dialogis.
Dimana posisi guru ditempatkan bukan lagi sebagai satu-satunya sumber
belajar. Pendapat guru bukanlah suatu kebenaran mutlak sehingga
pendapatnya bisa dipertanyakan bahkan dibantah oleh santri (murid).
Proses belajar mengajar berorientasi pada murid, sehingga potensi yang
dimiliki akan terwujud dan ia akan menjadi dirinya sendiri.
Kiprah Sosial Kemasyarakatan dan Kenegaraan
Selain melakukan perubahan-perubahan
tersebut Wahid Hasyim juga menganjurkan kepada para santri untuk belajar
dan aktif dalam berorganisasi. Pada 1936 ia mendirikan IKPI (Ikatan
Pelajar Islam). Pendirian organisasi ini bertujuan untuk mengorganisasi
para pemuda yang secara langsung ia sendiri menjadi pemimpinnya. Usaha
ikatan ini antara lain mendirikan taman baca.
Pada tahun 1938 Wahid Hasyim banyak
mencurahkan waktunya untuk kegiatan-kegiatan NU. Pada tahun ini Wahid
Hasyim ditunjuk sebagai sekretaris pengurus Ranting Tebuireng, lalu
menjadi anggota pengurus Cabang Jombang. Kemmudian untuk selanjutnya
Wahid Hasyim dipilih sebagai anggota Pengurus Besar NU di wilayah
Surabaya. Dari sini karirnya terus meningkat sampai Ma’arif NU pada
tahun 1938. Setelah NU berubah menjadi partai politik, ia pun dipilih
sebagai ketua Biro Politik NU tahun 1950.
Di kalangan pesantren, Nahdlatul Ulama
mencoba ikut memasuki trace baru bersama-sama organisasi sosial modern
lainnya, sepeti Muhammadiyah, NU juga membentuk sebuah federasi politik
bernama Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) lebih banyak di dorong oleh
rasa bersalah umat Islam setelah melihat konsolidasi politik kaum
nasionalis begitu kuat. Pada tahun 1939, ketika MIAI mengadakan
konferensi, Wahid Hasyim terpilih sebagai ketua. Setahun kemudian ia
mengundurkan diri.
Wahid Hasyim juga mempelopori berdirinya
Badan Propaganda Islam (BPI) yang anggota-anggotanya dikader untuk
terampil dan mahir berpidato di hadapan umum. Selain itu, Wahid Hasyim
juga mengembangkan pendidikan di kalangan umat Islam. Tahun 1944 ia
mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhnya ditangani
oleh KH. A Kahar Mudzakir. Tahun berikutnya, 1945, Wahid Hasyim aktif
dalam dunia politik dan memulai karir sebagai ketua II Majelis Syura
(Dewan Partai Masyumi). Ketua umumnya adalah ayahnya sendiri. Sedangkan
ketua I dan ketua II masing-masing Ki Bagus Hadikusumo dan Mr. Kasman
Singodimejo.
Pada tanggal 20 Desember 1949 KH. Abdul
Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama dalam kabinet Hatta.
Sebelumnya, yaitu sebelum penyerahan kedaulatan, ia menjadi Menteri
Negara. Pada periode kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman, Wahid Hasyim
tetap memegang jabatan Menteri Agama.
Dalam kabinet pertama yang dibentuk
Presiden Soekarno pada September 1945, Wahid Hasyim ditunjuk menjadi
Menteri Negara. Demikian juga dalam Kabinet Syahrir pada tahun 1946.
Pada tahun ini juga, ketika KNIP dibentuk, KH. A Wahid Hasyim menjadi
salah seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota
BPKNIP.
Selama menjadi Menteri Agama, usahanya
antara lain: [1] Mendirikan Jam’iyah al-Qurra’ wa al-Huffazh (Organisasi
Qari dan Penghafal al-Qur’an) di Jakarta; [2] Menetapkan tugas
kewajiban Kementerian Agama melalui Peraturan Pemerintah no. 8 tahun
1950; [3] Merumuskan dasar-dasar peraturan Perjalanan Haji Indonesia;
dan [4] Menyetujui berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
(PTAIN) dalam kementerian agama.
Pada tahun 1952 KH. Abdul Wahid Hasyim
memprakarsai berdirinya Liga Muslimin Indonesia, suatu badan federasi
yang anggotanya terdiri atas wakil-wakil NU, Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Darul Dakwah
wa al-Irsyad. Susunan pengurusnya adalah KH. A Wahid Hasyim sebagai
ketua, Abikusno Cokrosuyoso sebagai wakil ketua I, dan H. Sirajuddin
Abbas sebagai wakil ketua II.
Sebagai Ketua Umum PBNU
Ketika Muktamar ke 19 di Palembang
mencalonkannya sebagai Ketua Umum, ia menolaknya, dan mengusulkan agar
KH. Masykur menempati jabatan sebagai Ketua Umum. Kemudian atas
penolakan KH. A Wahid Hasyim untuk menduduki jabatan Ketua Umum, maka
terpilihlah KH. Masykur menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama. Namun berhubung KH. Masykur diangkat menjadi Menteri Agama dalam
Kabinet Ali Arifin, maka NU menonaktifkan KH. Masykur selaku ketua umum,
dan dengan demikian maka Wahid Hasyim ditetapkan sebagai Ketua Umum.
Disamping sebagai Ketua Umum PBNU, KH. A
Wahid Hasyim menjabat Shumubucho (Kepala Jawatan Agama Pusat) yang
merupakan kompensasi Jepang yang waktu itu merasa kedudukannya makin
terdesak dan merasa salah langkah menghadapi umat Islam. Awalnya
Shumubucho adalah merupakan kompensasi yang diberikan kepada KH. Hasyim
Asy’ari, mengingat usianya yang sudah uzur dan ia harus mengasuh
pesanten sehingga tidak mungkin jika harus bolak-balik Jakarta-Jombang.
Karena kondisi ini, ia mengusulkan agar tugas sebagai Shumubucho
diserahkan kepada KH. Abdul Wahid Hasyim, puteranya.
Tokoh Muda BPUPKI
Karir KH. Abdul Wahid Hasyim dalam pentas
politik nasional terus melejit. Dalam usianya yang masih muda, beberapa
jabatan ia sandang. Diantaranya ketika Jepang membentuk badan yang
bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan atau dikenal
dengan BPUPKI. Wahid Hasyim merupakan salah satu anggota termuda setelah
BPH. Bintoro dari 62 orang yang ada. Waktu itu Wahid Hasyim berusia 33
tahun, sementara Bintoro 27 tahun.
Sebagai anggota BPKI yang berpengaruh, ia
terpilih sebagai seorang dari sembilan anggota sub-komite BPKI yang
bertugas merumuskan rancangan preambule UUD negara Republik Indonesia
yang akan segera diproklamasikan.
Musibah di Cimindi
Tanggal 19 April 1953 merupakan hari
berkabung. Waktu itu hari Sabtu tanggal 18 April, KH. Abdul Wahhid
Hasyim bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU.
Berkendaraan mobil Chevrolet miliknya, dengan ditemani seorang sopir
dari harian pemandangan, Argo Sutjipto, tata usaha majalah Gema Muslim,
dan putra sulungnya, Abdurrahman ad-Dakhil. KH. Abdul Wahid Hasyim duduk
di jok belakang bersama Argo Sutjipto.
Daerah sekitar Cimahi dan Bandung waktu
itu diguyur hujan dan jalan menjadi licin. Pada waktu itu lalu lintas di
jalan Cimindi, sebuah daerah antara Cimahi-Bandung, cukup ramai.
Sekitar pukul 13.00, ketika memasuki Cimindi, mobil yang ditumpangi KH.
Abdul Wahid Hasyim selip dan sopirnya tidak bisa menguasai kendaraan. Di
belakang Chevrolet nahas itu banyak iring-iringan mobil. Sedangkan dari
arah depan sebuah truk yang melaju kencang terpaksa berhenti begitu
melihat ada mobil zig-zag karena selip dari arah berlawanan. Karena
mobil Chevrolet itu melaju cukup kencang, bagian belakangnya membentur
badan truk dengan keras. Saat terjadi benturan, KH. A Wahid Hasyim dan
Argo Sutjipto terlempar ke bawah truk yang sudah berhenti itu. Keduanya
luka parah. KH. Abdul Wahid Hasyim terluka bagian kening, mata serta
pipi dan bagian lehernya. Sementara sang sopir dan Abdurrahman tidak
cidera sedikit pun. Mobilnya hanya rusak bagian belakang dan masih bisa
berjalan seperti semula.
Lokasi kejadian kecelakaan itu memang
agak jauh dari kota. Karena itu usaha pertolongan datang sangat
terlambat. Baru pukul 16.00 datang mobil ambulan untuk mengangkut korban
ke Rumah Sakit Boromeus di Bandung. Sejak mengalami kecelakaan, kedua
korban terus tidak sadarkan diri. Pada pukul 10.30 hari Ahad, 19 April
1953, KH. Abdul Wahid Hasyim dipanggil ke hadirat Allah Swt dalam usia
39 tahun. Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 18.00, Argo Sutjipto
menyusul menghadap Sang Khalik.
Ditetapkan Sebagai Pahlawan
Berdasarkan Surat keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 206 tahun 1964 tertanggal 24 Agustus 1964, KH.
Abdul Wahid Hasyim ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional,
mengingat jasa-jasanya sebagai pemimpin Indonesia yang semasa hidupnya
terdorong oleh taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan rasa cinta tanah air
dan bangsa, telah memimpin suatu kegiatan yang teratur guna mencapai
kemerdekaan nusa dan bangsa. (***)
*** Biografi singkat KH. Abdul Wahid
Hasyim disarikan dari buku ”99 Kiai Kharismatik Indonesia” di tulis oleh
KH. A. Aziz Masyhuri, terbitan Kutub, Yogyakarta. (Ref. NU-Online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar