Oleh:
Aris Ali Ridho
Ketua PMII Komisariat Unila
Keragaman, suku,
tradisi, adat istiadat, budaya, ras, agama, dan aliran kepercayaan yang
bermacam-macam, serta wilayah geografis yang terdiri dari ribuan pulau,
ternyata tidak menjadi penghambat bagi para funding fathers kita
untuk mewujudkan sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan
pondasi dan semangat kebersamaan, ditengah keragaman tersebut funding fathers berusaha sekuat tenaga
merumuskan tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang menghargai semua bentuk perbedaan. Konsep inilah yang membedakan terbentuknya negara Indonesia dengan negara lain.
merumuskan tata kehidupan berbangsa dan bernegara yang menghargai semua bentuk perbedaan. Konsep inilah yang membedakan terbentuknya negara Indonesia dengan negara lain.
Karena
hal tersebut, bangsa Indonesia “sempat” di puja-puji oleh bangsa lain
karena keberhasilannya menyatukan masyarakat yang plural menjadi satu
kekuatan dan identitas baru sebagai bangsa Indonesia. Padahal menurut
“mereka” Indonesia tidaklah mungkin menjadi satu negara, tetapi
seharusnya terbentuk banyak negara-negara.
Rentetan
peristiwa kekerasan bergerak seperti kilat, sampai-sampai melumpuhkan
ingatan kita atas peristiwa yang baru saja terjadi, menganggap seolah
kekerasan adalah hal yang biasa. Sosok yang dulu terkenal dengan
peramah, gotong royong, toleran, yang dalam hidupnya didasarkan pada
kepentingan bersama sebagai anak negeri, kini harus diakui mulai
terkoyak.
Bangunan
ke-Indonesiaan yang nampak ideal dan indah tersebut mulai rapuh seiring
berjalannya waktu. Keragaman yang katanya sebagai identitas dan
kekuatan nasional, saat ini justru seringkali menjadi pemicu timbulnya
konflik vertikal maupun horizontal yang akhir-akhir ini marak terjadi.
Seolah-olah semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang terdapat di kaki kuat
sang Burung Garuda mulai melemah, menggantung dan nyaris terjatuh. Identitas “Kita” sebagai bangsa Indonesia mulai tergadaikan, dan lebih memperlihatkan pada posisi sebagai “Aku - Kamu” dan ”Kami - Mereka”.
Barangkali
memang ada benarnya, seperti apa yang dikatakan oleh Max Lane (2007),
yang menyatakan bahwa Indonesia adalah bangsa yang belum selesai. Sehingga politik identitas dalam format identitas suku (ethnic identity), identitas daerah (regional identity) dan identitas agama (religious identity) di Indonesia sangat mudah menguat.
Identitas Kebangsaan (Kita)
Bangsa
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk dan memiliki unsur
pembentuk identitas bangsa yang kompleks dan teranyam dalam perjalanan
sejarah panjang Indonesia. Suku
bangsa yang secara natural terdapat ratusan suku, beragam bahasa,
agama, budaya, dan keyakinan yang mendiami pulau Nusantara, juga
merupakan unsur pembentuk identitas bangsa Indonesia.
Soekarno menyebutkan, bahwa bangsa Indonesia bukanlah sekedar le desir d'etre ensemble -
kehendak untuk bersatu dan yang merasa dirinya bersatu - oleh bangsa
tertentu di Indonesia, akan tetapi seluruh bangsa yang tinggal dalam
wilayah geopolitik Indonesia merasakan le desir d'etre ensemble Indonesia.
Identitas
bangsa memiliki dimensi tujuan atau cita-cita yang ingin dicapai oleh
sebuah bangsa, identitas yang bersumber dari cita-cita ini bersifat
dinamis dan paling banyak didiskusikan ulang. Identitas bangsa Indonesia
yang bersumber dari dimensi cita-cita ini sangat terkait dengan apa
yang diungkapkan Ernes Renan sebagai le desir d'etre ensemble,
yakni adanya kehendak untuk bersatu dan merasa bersatu, untuk mewujudkan
cita-cita bangsa Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945.
Kebanggan Atas Identitas (Kita)
Konsep
bangsa Indonesia yang kaya dengan keragaman dan memposisikan sebagai
bangsa yang plural, dan dengan kenekaragaman tersebutlah yang menjadikan
sebuah identitas nasional bangsa Indonesia sekaligus menjadi identitas
kebangsaan. Kebanggaan kita akan sebuah identitas nasional itulah yang dapat mewujudkan integrasi nasional.
Namun
maraknya konflik dan aksi-aksi kekerasan di negeri ini yang telah
menjadi tontonan rutin dan pemberitaan ”hot” di berbagai media massa
akhir-akhir ini nampak mulai dipertanyakan. Baik oleh kita sendiri
sendiri sebagai bangsa Indonesia, maupun ”mereka” bangsa lain. Entah
lari kemana kebanggaan atas identitas (nasionalisme) kita yang dahulu
diperjuangkan dan terus dipertahankan yang kemudian sangat dikagumi oleh
bangsa lain?. Serta masihkah identitas tersebut melekat dan menjadi
jati diri atau kepribadian bangsa Indonesia saat ini?.
Melihat
kondisi bangsa demikian, nampaknya perlu ada sebuah upaya alternatif
dalam menyatukan keragaman di Indonesia dengan mengadakan akomodasi
serta revitalisasi ideologi Pancasila sebagai pemberdayaan identitas
nasional. Hal ini merupakan solusi yang tepat untuk
menyatukan bangsa yang besar ini serta didasari keyakinan kuat bahwa
Pancasila masihlah merupakan simpul nasional yang paling tepat bagi
Indonesia yang majemuk.
Seperti
apa yang pernah diungkapkan Gus Dur bahwa “Sebuah bangsa yang mampu
bertenggang rasa terhadap perbedaaan-perbedaaan budaya, agama, dan
ideologi adalah bangsa yang besar” untuk mewujudkan integrasi di
Indonesia dengan mutual of understanding.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar